Contoh format surat kuasa khusus


SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:
Mahbub Mahbubun
Pendidikan
:
S-1/  Starata 1
Pekerjaan
:
proyektor
Alamat
:
Kp. Reungas tonggoh
Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor Advokat Taufik SH, MH dan Rekan di Jl. Cilawu Indah No. 89 Garut. Menerangkan bahwa dengan ini memberi kuasa penuh kepada:

Taufik SH, MH

Untuk mengurus dan membela kepentingan hukum Pemberi Kuasa sebagai pengugat melawan Zapuh Al-Batros Umur 35 tahun, Agama Kristen, Pendidikan S-2/ Strata 2, Pekerjaan Dosen, Alamat Jalan Ci Gonewa No.35 Garut Sebagai tergugat. Dalam pengugatan Hak Cipta dengan pengugat dan akan di ajukan ke Pengadilan Negeri.

Dan selanjutnya Penerima Kuasa;
Dapat mewakili didepan dan menghadap dihadapan Pejabat/Instansi-instansi, jawatan- jawatan, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, hakim-hakim Pengadilan Negeri, menghadiri semua persidangan di Pengadilan Negeri,memberikan keterangan secara lisan/tertulis, mengajukan serta menandatangani segala surat-surat, permohonan/pengaduan/gugatan, bantahan, perlawanan dan  menggunakan kuasa ini dalam tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali.
Diberikan hak untuk melimpahkan kuasa ini(Substitusi) kepada orang lain baik seluruh ataupun sebagaian dalam hal tertentu dan menarik kembali kuasa ini.


                                                                                               Garut 27 Oktober 2011


    Penerima Kuasa                                                                  Pemberi Kuasa




Taufik SH, MH                                                                       Mahbub Mahbubun

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KASUS DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia, sejak awal penciptaan, di dalam dirinya terdapat kepribadian yang beragam dan dikendalikan kecenderungan (naluri) berbeda. Secara fitriyah, individu tidak akan berkembang dengan berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia ialah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam memenuhi kebutuhannya guna menyempurnakan kehidupan di muka bumi. Dengan demikian, kehidupan manusia adalah kehidupan berkelompok, di mana tiap individu saling membutuhkan dalam membangun kehidupan bermasyarakat menuju kehidupan yang damai.[1]
Karakter koletivitas dalam setiap diri manusia, yang disebut Aristoteles dengan zoon politicon, bermuara pada kehadiran cita-cita, keinginan, kebutuhan, dan usaha manusia mewujudkan keharmonisan. Kepentingan seseorang dapat berkait erat dengan kepentingan orang lain. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling menjatuhkan, tetapi dapat pula sebagai kesamaan rasa kolektif sehingga manusia dapat memikul berbagai kepentingan. Namun, adakalanya tiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-kepentingan sendiri, sehingga menimbulkan pertentangan. Hal demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.[2]
            Meskipun setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan (chaos) antara sesama anggota masyarakat. Dalam bahasa lain, mereka menginginkan sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud. Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-Undang  Dasar negara tersebut.[3]
            Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) tiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.[4]
            Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.[5] Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, hukum terdiri dari hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.[6] Kemudian ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata, hukum dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda, sebagai contoh, hukum pidana berfungsi menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan tata negara ditaati sepenuhnya.
            Delik penganiayaan merupakan salah satu bidang garapan dari hukum pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh.[7] Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP ditentukan pula ancaman pidanya. Demikian juga pada delik penganiayaan serta delik pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada KUHP buku I bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih mengarah kepada pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.[8]
            Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat bermacam-macam hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM (Human Right) yang bersifat primer (Daruriyyah) yang meliputi perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-syari’ah. Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok tersebut dapat diwujudkan dan dipelihara.[9]   
Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan memelihara manusia seluruhnya.[10]
            Hukum pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada al-qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.[11] Mengenai masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam dengan hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qisas, ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.[12]
            Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik pada hukum pidana Islam maupun pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan matinya janin.
            Ada bebarapa hal yang menjadikan kenapa penyusun tertarik untuk membahas kasus tersebut, yang pertama adalah bahwa belum adanya penelitian yang membahas kasus tersebut dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayan atau pembunuhan saja. Yang kedua adalah selama ini sering terjadi tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan yang menimbulkan berbagai akibat, salah satunya adalah kasus penganiayaan seperti yang yang dikemukakan dalam penelitian ini. Latar belakang terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan adanya kelakuan yang tidak wajar sehingga akan menimbulkan aib apabila diketahui oleh masyarakat, seperti adanya kehamilan di luar pernikahan atau akibat perkosaan. Sedangkan berkenaan dengan kasus-kasus tersebut belum ada ketegasan mengenai sanksi-sanksi hukumnya.

B. Rumusan Masalah

            Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang menjadi perhatian dalam penyusunan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perspektif hukum pidana Islam tentang delik penganiayaan terhadap wanita hamil yang mengakibatkan meninggalnya janin?
2.      Bagaimana ketentuan sistem hukum Islam di Indonesia dalam menangani matinya janin yang ada dalam kandungan akibat penganiayaan ?
3.      Apa saja problematika yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum pidana Islam dalam kasus penganiayaan wanita hamil yang mengakibatkan kematian janin?
C.  Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah:
a. Tujuan
1.      Mengetahui perspektif hukum pidana Islam tentang delik penganiayaan terhadap wanita hamil yang mengakibatkan meninggalnya janin.
2.      Mengetahui ketentuan sistem hukum Islam di Indonesia dalam menangani matinya janin yang ada dalam kandungan akibat penganiayaan.
3.      Mengetahui problematika yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum pidana Islam dalam kasus penganiayaan wanita hamil yang mengakibatkan kematian janin.
b.  Kegunaan
Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif mengenai  delik penganiayaan serta delik pembunuhan.

D.   Telaah Pustaka
            Karya-karya pemikiran yang membahas masalah hukum, baik itu hukum Islam maupun hukum positif sangat banyak macam dan coraknya. Disamping itu banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis, tetapi karya pemikiran yang menggunakan tehnik perbandingan antara kedua sistem hukum tersebut  masih belum begitu banyak.
            Sepanjang pelacakan dan penelaahan yang penyusun lakukan, baik di kalangan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SGD Bandung maupun sacara umum, belum ada karya penelitian yang membahas pada permasalahan delik penganiayaan yang berhubungan dengan pembunuhan dengan cara membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif, lebih-lebih masuk pada pembahasan tentang sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan matinya janin.
            Namun sebenarnya telah ada buku-buku yang membahas delik panganiayaan,   baik itu dari segi hukum Islam maupun hukum positif, akan tetapi pembahasannya masih bersifat parsial. Diantara  buku-buku yang membahas masalah itu, yang sekaligus dijadikan sebagai sumber data dari penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Topo Santoso, dengan judul Membumikan Hukum Pidana Islam, membahas berbagai permasalahan dalam hukum pidana Islam, mulai dari paradigma negatif terhadap hukum Islam dengan menggambarkan hukum pidana Islam secara utuh. Juga dibahas masalah jarimah pembunuhan serta jarimah penganiayaan[13].
Selain itu, kitab dengan judul at-Tazhib Fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-taqrib yang ditulis oleh Mustofa Raib al-Bagha juga menjelaskan masalah-masalah fiqh Islam. Di dalamnya terdapat penjelasan masalah jinayah yang memuat hukum qisas terhadap tindak pembunuhan maupun tindakan yang mengakibatkan cacat ataupun luka terhadap orang lain[14].
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,  Abdul Qadir ‘Audah dengan kitab at-Tayri’i al-Jina’i al-Islami, as-Sayyid Sabiq dengan kitab Fiqh as-Sunnah juga membahas tentang berbagai macam persoalan fiqh Islam beserta dalil-dalilnya. 
Sedangkan sebagai bahan perbandingan, dari segi hukum pidana positif, terdapat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan rujukan pokok dalam penentuan hukum di Indonesia. Dalam KUHP tersebut, dijabarkan mengenai delik penganiayaan, yaitu pada Buku II Bab XX Pasal 351-358. Sedangkan mengenai delik pembunuhan ada pada Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa, yaitu Pasal 338-350.
            Dalam KUHP, juga diterangkan bahwa setiap tindak pidana digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
1.      Dolus, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja.
2.      Culpa, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak sengaja, biasanya dikarenakan kealpaan atau kelalaian.[15]
Tindak pidana penganiayaan secara sengaja dibahas pada Pasal 351-358, sedangkan penganiayaan dikarenakan kealpaan (culpa) dijelaskan pada Pasal 360.   
            Buku lain yang berjudul Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, karya Leden Marpaung, menjelaskan tentang pembunuhan, yaitu tindak pidana terhadap nyawa[16] dan juga tentang penganiayaan, yaitu tindak pidana terhadap tubuh[17]. Di dalam buku itu juga dijelaskan macam dari pembunuhan ataupun dari penganiayaan berdasar pembagian yang ada dalam KUHP.


E.  Kerangka Teoretik
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh Pemerintah. Meskipun peraturan-peraturan telah dikeluarkan, masih ada saja yang melanggar peraturan-peraturan, misalnya dalam hal penganiayaan, yaitu tindak pidana terhadap tubuh dan yang bertentangan dengan hukum (KUHP Pasal 351-358). Terhadap orang ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredinger), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu kitab undang-undang yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang disingkat KUHP (WvS).[18]
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayah) didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang  diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commision) atau tidak melakukan (ommision) suatu perbuatan yang membawa hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.[19]
Klasifikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas oleh para ahli hukum Islam adalah hudud, qisas, dan ta’zir. Kategori qisas jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori qisas ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan  karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qisas ini.[20]
Penganiayaan dalam KUHP tidak dirumuskan elemen-elemen atau unsur-unsurnya, melainkan hanya menyebutkan qualifikasinya atau nama deliknya saja, yaitu penganiayaan (mishandeling) dipidana, dan seterunya.
Menurut Doctrine (ilmu pengetahuan), penganiayaan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain. Sedangkan menurut penafsiran dari H.R. (Hoge Raad) penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.[21]
Melukai atau penganiayaan (jinayah terhadap selain jiwa) bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu :
1.         Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya
2.         Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban buta, tuli, bisu dan sebagainya
3.         Asy-Syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)
4.         Al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada
5.         Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.[22]
Sedangkan pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Secara umum, pembunuhan dibagi menjadi tiga macam[23], yaitu :
1.  Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya.
2.  Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian orang yang dianiaya tersebut .
3.  Pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yaitu pembunuhan yang disebabkan salah dalam perbuatan[24], salah dalam maksud[25], dan kelalaian[26].
Adapun syarat-syarat dari qisas dalam penganiayaan adalah sebagai berikut:
1.      Persamaan nama yang khusus, seperti kanan dengan kanan, kiri dengan kiri.
2.      Keadaan yang terpotong tidak kurang daripada anggota yang dipotong, maka tidak dipotong bagian yang sempurna dengan sebab bagian yang syalal (lumpuh).[27]
3.      Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan tidak selalu mendapatkan hukuman qisas dapat juga diyat (denda), hal ini seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi bersabda :
من قتل له قتيل فهوبخيرالنظرين إما أن يودي و إما أن يقاد [28]
Sedangkan penganiayaan yang diatur dalam KUHP terdiri dari :
1.      Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
a.       Penganiayaan biasa
b.      Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
c.       Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati
2.      Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
3.      Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan rincian sebagai berikut :
a.       Mengakibatkan luka berat
b.      Mengakibatkan orangnya mati
4.      Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
a.       Mengakibatkan luka berat
b.      Mengakibatkan orangnya mati
5.      Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
a.       Penganiayaan berat dan berencana
b.      Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya mati.[29]
Selain delik penganiayaan, KUHP juga menagatur delik pembunuhan yang terdapat dalam Buku II Bab XIX tentang kejahatan terhadap jiwa manusia, kemudian yang berkaitan dengan pembunuhan terhadap janin dirinci sebagai :
1.      Pembunuhan terhadap bayi (kinder doodlog)
2.      Pembunuhan terhadap bayi dengan rencana terlebih dahulu (kinder moord)
3.      Kejahatan terhadap bayi yang baru saja dilahirkan atau belum beberapa lama setelah dilahirkan
4.      Kejahatan terhadap jiwa anak yang masih berada dalam kandungan (abortus)
5.      Pengguguran yang dilakukan oleh ibu kandung sendiri
6.      Pengguguran oleh orang lain tanpa persetujuan si ibu
7.      Pengguguran oleh orang lain dengan persetujuan si ibu
8.      Pengguguran yang dilakukan oleh dokter, bidan atau juru obat.[30] 
Sanksi dari tindak pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu sebagai berikut[31] :
1.      Pidana Pokok, terdiri dari :
a.       Pidana mati,
b.      Pidana penjara,
c.       Kurungan,
d.      Denda                                                                                                                                                         
e.  Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946)[32]
2.      Pidana tambahan, terdiri dari :
a.       Pencabutan hak-hak tertentu,
b.      Perampasan barang-barang tertentu,
c.       Pengumuman putusan hakim.
Suatu ancaman hukuman akan dapat menahan manusia untuk melaksanakan kejahatan, yakni ancaman yang bersifat preventif. Apabila orang telah mengetahui lebih dulu, bahwa ia akan mendapatkan hukuman, maka ia akan takut melakukan perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah sosial.[33]

F.   Metode Penelitian
            Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling  akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.[34]
            Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.   Jenis Penelitian
      jenis penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau majalah.[35]  Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang berbeda mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan kematian janin melalui kajian pustaka.
2.   Sifat Penelitian
       Sifat penelitian ini adalah deskriptif, analitik serta komparatif. Metode deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta tersebut[36], sedang analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna[37], kemudian komparatif dengan membandingkan  hasil yang didapat, dalam hal ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran masalah dan landasan penyelesaian.
3.    Pengumpulan Data
       Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan mengumpulkan pendapat dari para sarjana dan ulama melalui buku-buku,  kitab-kitab serta karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun skunder akan diuji  kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.
       Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah, dari segi hukum Islam: al-Fiqh wa Adillatuh karya Wahbah az-Zuhaili, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami karya Abdul Qadir ‘Audah, Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj al-Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi,  At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib  karya Mustafa Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana positif, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Moeljatno, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya Leden Marpaung, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana oleh Chidir Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M. Sudradjat Bassar dan lain-lain.
4     Pendekatan
        Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengambil beberapa aturan atau ketentuan yang ada mengenai delik penganiayaan maupun pembunuhan yang bersumber dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menjelaskan teks-teks yang memerlukan penjelasan, terutama dalam hukum pidana Islam.
5.    Analisa Data
       Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah  analisa kualitatif dengan cara berfikir induktif, deduktif dan komparatif. Induktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum, metode ini penyusun gunakan untuk menganalisis kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, sedangkan deduktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus.[38] Dengan metode ini penyusun mencoba menganalisa data untuk mengungkapkan ketentuan-ketentuan hukum tentang penganiayaan juga tentang pembunuhan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan persamaan   antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut, sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.

G.   Sistematika Pembahasan
            Untuk memberikan gambaran umum mengenai isi karya tulis ini dan lebih mudahnya dalam pembahasan penyusunan, maka disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut :
            BAB I, adalah pendahuluan. Pendahuluan ini memuat latar belakang masalah yang kemudian dirumuskan pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka yang menguraikan beberapa kajian terdahulu baik berupa buku-buku atau kitab-kitab atau artikel yang ada relevansinya dengan pembahasan yang dapat dijadikan pedoman bagi penelusuran penelitian ini, selanjutnya disusul dengan pembahasan kerangka teoretik baik dari hukum pidana Islam maupun dari hukum pidana positif, dilanjutkan dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
BAB II, penyusun akan menguraikan tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam. Pembahasan ini akan dimulai dengan pendefisian mengenai delik penganiayaan serta delik pembunuhan dilanjutkan dengan memaparkan pembagian delik penganiayaan serta pembunuhan, juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan serta pembunuhan. Penyusun menguraikan delik penganiayaan serta pembunuhan ditinjau dari segi hukum pidana positif. pembahasan ini juga meliputi pengertian pengertian delik penganiayaan serta delik pembunuhan, klasifikasi kedua delik tersebut dan diakhiri dengan penjelasan sanksi-sanksinya.
BAB III merupakan bab yang berisi kajian perbandingan terhadap sistem hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif dihadapkan pada kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin yang dikandung. Analisis tersebut ditinjau dari dua segi, yaitu segi tindak pidana dan segi pidananya, yang keduanya berisikan persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.
BAB IV, yaitu bab terakhir dalam skripsi ini akan dikemukakan kesimpulan yang merupakan jawaban akhir dari pokok permasalahan yang ada. Dan dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran dari penyusun serta kata penutup.  



DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, t.t.
Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Armico, Bandung, 1985.
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.  
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jilid I, Aksara Baru, Jakarta, 1980.
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1. cet. ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2003.
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Mustafa Raib al-Bagha, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib, Bungkul Indah, Surabaya, 1978.
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta,  1985.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Roke Sarasin, Yogyakarta, 1998.
Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33, Rajawali, Jakarta, 1983.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, UI-Press, Jakarta, 1986.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18, Attahiriyah, Jakarta, 1981.
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1977. 
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Gema Insani Press, Jakarta, 2003.  
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7, Bandung: t.np.,1994.


[1]. Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
[2]. Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 25.
[3]. Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 1.
[4]. Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 48.
[5]. Ibid., hlm. 49.
[6]. Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 26.
[7]. Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1. cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 50.
[8]. Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), hlm.6.
[9]. Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71-72.
[10].Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 71-72.  
[11]. Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum  (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), hlm. 132.
[12]. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18  (Jakarta: Attahiriyah, 1981), hlm. 406.
[13]. Topo Santoso, Ibid., hlm. 37-38.
[14].  Mustafa Raib al-Bagha, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib  (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 191-202.
[15].  Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Ibid, hlm. 9.
[16]. Leden Marpaung, Ibid., hlm. 19-49.
[17].  Ibid., hlm. 50-63.
[18]. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7 (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 257.
[19]. Topo Santoso, Ibid., hlm. 20.
[20]. Ibid., hlm. 22-23.
[21]. Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
[22]. Topo Santoso, Ibid., hlm. 38.
[23]. Ibid., hlm. 36-37.
[24]. Misalnya melakukan suatu perbuatan dengan tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi mengakibatkan kematian seseorang.
[25]. Seseorang melakukan perbuatan dengan niat membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata tidak boleh, misalnya dengan sengaja menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tapi ternyata teman sendiri.
[26]. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi kelalaiannya menimbulkan kematian.
[27]. Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa at-Taqrib  (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 195.
[28]. Ibid., hlm. 192. Lihat juga Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
[29]. Leden Marpaung, Ibid., hlm. 50.
[30]. Chidir Ali, Ibid., hlm.71-72.
[31]. Moeljatno, Ibid., hlm.6.
[32]. Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
[33]. Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Ibid., hlm. 27.
[34]. Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 9
[35]. Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7 (Bandung: t.np.,1994), hlm. 25.
[36]. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 10.
[37]. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4 (Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998), hlm. 43.
[38]. Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977), hlm. 50.  

TINDAK PIDANA DALAM PEMALSUAN IJAZAH KAJIAN PASAL 67-71 UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2003 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sekarang ini adalah selalu igin cepat menyelesaikan sesuatu hal tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, padahal perbuatannya itu sudah jelas-jelas dilarang. Manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan pemuas diri dan bahkan keinginan untuk mempertahankan status diri hal itu banyak dilakukan tanpa berfikir secara  matang yang dapat merugikan lingkungan dan diri sendiri.
Salah satu fenomena yang terjadi itu adalah masalah pendidikan. Masalah pendidikan merupakan masalah yang kompleks karena yang terlibat didalamnya tidak hanya guru dengan murid namun lembaga yang menaungi pendidikan tersebut dan pemerintah juga terlibat di dalamnya.
Dilihat dari segi pengertian Pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan fungsi Pendidikan nasional itu sendiri yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) disatu sisi membawa hasil positif bagi perkembangan, namun pada sisi lain disalah gunakan oleh sebagian orang yang tidak beriktikat baik. Mereka melakukan cara-cara yang tidak terpuji yang sepintas lalu tampaknya tidak terjangkau oleh peraturan perUndang-Undangan.[2]
Sebagaimana diketahui kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit, semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan, dengan kata lain kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat yang sepi dari kejahatan.[3]
Setiap orang yang melakukan kejahatan akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan tersebut. Hukum Islam memiliki keluasan hukum serta saksi yang tidak didapati dalam hukum-hukum buatan manusia.[4]
Adapun bentuk-bentuk tindak pidana dalam pasal 67-71 Undang-Undang No 20 tahun 2003 adalah:
Pasal 67 ; ayat (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
Ayat (2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68 Ayat (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ayat (4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69 ayat (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70 ; Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71 ; Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Secara garis besar bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam pendidikan diantaranya :
Ijazah Palsu, sertifikat kompetensi, gelar akademik, dan vokasi
Penyelenggara pendidikan yang dinyatakan di tutup berdasarkan Undang-Undang ternyata masih beroperasi. Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Penyelenggara pendidikan yang memberikan gelar guru besar yang tidak sesui dengan Undang-Undang. Penyelenggara pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tidak sesuai dengan yang disyaratkan Undang-Undang.
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan.  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Di dalam KUHP pemalsuan ijazah ini masuk kedalam pemalsuan surat yaitunya pasal 263 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan untuk memakai atau menyuruh orang lain untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak sipalsu, diancam jika memakai tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun[6].
Pemalsuan ijazah disamping penipuan terhadap diri dan lembaga yang dipergunakannya dalam jangka panjang berarti menghancurkan semagat berjuang yang fair yang sangat di butuhkan oleh bangsa yang sedang mengejar ketertinggalannya seperti bangsa Indonesia. Oleh karena itu ijazah palsu adalah musuh kebenaran, ijazah palsu adalah jati diri pengguna ijazah tersebut, sekaligus lembaga yang mengeluarkannya. Ijazah palsu adalah lambang dari ketidak berdayaan untuk bersaing secara fair. Jadi ijazah palsu adalah musuh masyarakat yang beradab.[7]
Jika sebuah masyarakat diwarnai ijazah palsu, masyarakat tersebut tergolong kepada masyarakat yang tidak berfikir maju yang akan tetap berada dalam ketertinggalannya. [8]
Ijazah memiliki kesakralan akademik dimana orang yang telah layaklah yang berhak dan diperkenankan untuk menerima dan dan menggunakannya sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan pasal: 61 ayat 2 yang berbunyi “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi”.[9]
Pada masa Umar bin Khatab pernah terjadi kasus tentang Mu’an bin Zaidah yang memalsukan stempel Baitul Mal, lalu penjaga baitul mal datang kepadanya untuk mengambil stempel palsu tadi dan mengambil hartanya, kasus ini di dengar oleh Umar bin Khatab maka Umar memukulnya seratus kali dan memenjarakannya, lalu dimarahi dan di pukuli seratus kali lagi, dimarahi lagi dan selanjutnya dipukul seratus kali dan kemudian di asingkannya.[10]
Dari contoh diatas ternyata penipuan dengan modus pemalsuan ini sudah terjadi pada zaman Nabi SAW dan sahabat. Seperti hadis Nabi SAW di bawah ini yang melarang adanya unsur penipuan dalan hal jual-beli.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال أصابته السماء يا رسول الله قال أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس ؟ من غش فليس مني (رواه مسلم)
Artinya : “Dari abu hurairah ra, berkata : “pada suatu ketika Rasulullah melewati tumpukan makanan {dipasar}”, lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan itu setelah diangkat kembali, ternyata jari-jari beliau basah. Lalu beliau bertanya “kenapa begini hai penjual makanan?”,”jawabannya” kena hujan ya rasulullah “sabda beliau, mengapa tidak ditaruh di atas (yang basah) supaya dilihat orang ; siapa yang menipu tidak termasuk golonganku.”
{H.R. Muslim}. [11]
Dari hadis diatas jelaslah bahwa penipuan itu diharamkan karena penipuan merupakan suatu kebohongan yang dapat merugikan orang lain maka Islam melarang berbohong dan menganggapnya sebagai perbuatan dosa besar.

Selain itu ada hadist yang menerangkan tentang berbuat dusta.
حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبو معاوية ووكيع قالا حدثنا الأعمش ح وحدثنا أبو كريب حدثنا أبو معاوية حدثنا الأعمش عن شقيق عن عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا (رواه مسلم)
Artinya : “Telah menceritakan Muhammad bin Abdillah bin Numair telah menceritakan abu Mu’awiah dan Waqi’ keduanya berkata A’masy dan Abu Kuraib menceritakan kepada kami abu Muawiyah menceritakan kepada kami, A’masy menceritakan Dari Abdillah ra. Berkata rasulullah bersabda : “hendaklah kamu berlaku jujur membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kesurga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan berusaha mempertahankan atau mencari kejujuran, maka dia dicatat Allah sebagai “shadiq” dan hindarilah olehmu dusta karena sesungguhnya dusta itu membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaan maka dia dicatat oleh Allah sebagai “kadzab” (HR. Muslim)[12]
Di dalam Al-Qur’an juga diterangkan mengenai perbuatan dusta yaitunya surat AnNisa’ Ayat 145 :
Artinya: “Sesunguhnya orang-orang munafik itu (diletakkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka”.[13]
Ditinjau dari ruh syari’at menipu adalah membohongi, berlaku dusta adalah merupakan cirri munafik, munafik seperti dinyatakan dalam hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
عن أبي هريرةأن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان)
Artinya : “Abi Hurairah mengatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda, “tanda-tanda orang itu ada tiga : yaitu apabila dia berbicara dia berdusta, apabiladia berjanji dia inkar, apabila dia dipercaya dia khianat. (HR. Bukhari)[14]
Di dalam hukum Pidana Islam tidak diatur secara tegas mengenai tidak pidana dalam pendidikan ini, hanya saja berkenaan dengan penipuan.Dari latar belakang masalah di atas penulis sangat tertarik untuk menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul  TINDAK PIDANA DALAM PEMALSUAN IJAZAH KAJIAN PASAL 67-71 UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2003 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

Rumusan dan Batasan Masalah
Rumusan Masalah
Berdasarkan judul yang penulis bahas maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah
1.      Bagaimana tinjauan hukum  pidana Islam terhadap tindak pidana dalam pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003?
2.      Bagaimana sanksi terhadap pelaku tindak pidana mengenai  pendidikan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 menurut hukum pidana Islam?
Batasan Masalah.
Dari masalah yang telah diuraikan di atas, maka untuk lebih terarahnya penelitian ini maka penulis membatasi Pasal 67-71 dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 ditinjau dari Hukum Pidana Islam.
Penjelasan Judul
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian ini, penulis akan menjelaskan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini.
Tindak Pidana : Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena pelanggaran terhadap Undang-Undang.[15]
Pendidikan : Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[16]
Undang-Undang : Ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan Negara yang di buat oleh pemerintah.[17]
Tindak Pidana Islam : Segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban)[18]
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian.
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah penulis uraikan, maka penulisan ini bertujuan untuk  Mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Tindak Pidana dalam Pendidikan pada Pasal 67-71 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
Mengetahui sanksi tindak pidana dalam Pendidikan menurut hukum pidana Islam.
Kegunaan Penelitian.
Secara teoritis untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam bidang hukum pidana dan khususnya hukum pidana Islam.
Secara sisi praktisnya berguna untuk memberikan manfaat bagi setiap orang yang ingin mengetahui tentang sistem pendidikan dan sanksi tindak pidana dalam pendidikan dilihat dari hukum pidana Islam.

Metode Penelitian
Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) artinya penelitian ini dilakukan dengan membaca karya-karya terkait dengan persoalan yang akan dikaji. Kemudian mencatat bagian yang memuat kajian tentang penelitian.[19]
Motode Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian menggunakan pendekatan deskriptif analitis artinya penelitian ini dilakukan dengan mengambarkan (mendiskripsikan) sebuah fenomena yang terjadi[20] dan menganalisanya berdasarkan data yang diperoleh oleh penulis maka dalam penelitian ini penulis akan mengambarkan dua system hukum yang berbeda (hukum positif dan hukum pidana Islam) kemudian setelah dideskripsikan dan dianalisa maka penulis akan membandingkan dan mengambil sebuah kesimpualan.


Sumber Data.
Di mana dalam penelitian pada umumnya untuk menentukan jenis dari pada suatu penelitian itu dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data Primer (dasar) sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.
Di dalam penelitian hukum data sekunder mencakup.[21]
Bahan primer.
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan norma atau kaidah dasar, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sedangkan dalam hukum Islam normanya adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Bahan sekunder.
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum Primer, seperti rancangan Undang-Undang, hasil-hasil karya ilmiyah, buku-buku yang berkenaan dengan penelitian penulis.
Bahan tersier.
Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, bahan tersier dalam penelitian ini dapat berupa kamus hukum, ensiklopedi hukum.
Teknik Analisis Data.
Dalam mengolah data yang telah penulis peroleh, maka penulis akan menganalisanya dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) yaitu suatu teknik analisis dalam kajian kepustakaan dengan cara menganalisa terhadap berbagai sumber informasi termasuk bahan cetak (buku, artikel, koran, majalah, dan lain-lain) dan bahan non cetak seperti gambar.[22]
Adapun dalam content analysis ini penulis melakukan dalam lima tahapan:
Menentukan tujuan analisis.
Dalam hal ini penulis mengidentifikasi tujuan analisisnya dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu permasalahan yang ada.
Mengumpul data.
Penulis membaca, mengkaji, dan mencatat data-data yang diambil dari berbagai sumber yang ada.


Mereduksi data.
Penulis mulai melakukan “sortir” terhadap data yang telah penulis kumpulkan mana yang digunakan (include) dan mana yang tidak di gunakan (exclude).
Menganalisis dan menafsirkan data.
Pada tahap ini penulis akan menganalisa data yang ada dan selanjutnya mengambil kesimpulan dari analisa tersebut.
Kemudian, karena penulis mengggunakan penelitian yang bersifat komperatif (membandingkan dua sistem hukum) maka penulis membandingkannya setelah itu penulis mengambil kesimpulan akhir pada penelitian ini.
Sistematika Penulisan
Untuk terarahnya penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan yang memberikan gambaran pembahasan sebagai berikut :
Bab I berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, penjelasan judul, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang gambaran umum tindak pidana pendidikan yang terdiri dari: Pengertian Tindak Pidana Pendidikan, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pendidikan, Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pendidikan, Ketentuan Hukum Positif Tentang Tindak Pidana Pendidikan.
Bab III berisi tentang tindak pidana pendidikan menurut hukum pidana Islam yang terdiri dari: Bentuk-Bentuk Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam, Tindak Pidana Pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Menurut Tinjauan Hukum Pidana Islam, Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pendidikan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Menurut Tinjauan Hukum Pidana Islam.
Bab IV berisi kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.







DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus, Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008)
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Abû Zakariya Yahya ibn Syaraf, Al-Nawâwiy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwiy, (Beirut:       Dar al-Fikr, 1983),
Barda Nawawi, Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana       Penjara, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2000)
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai           Pustaka, 2001)
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007)
Rawas Qal’ahji, Muhammad, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta: Manajemen PT Raja   Grafindo Persada, 1999)
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhariy, ( Beirut : Dar al-Fikr 1981)
Muslim bin Al-Haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy Al-Naisaburiy Al-Muslim, Shahih Al Muslim Bairut    : Dar al-Fikr,)
Irawan, Prasetyo, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: DIA FISIP UI, 2006)
Redaksi Sinar Grafika, KUHP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus, (Jakarta: PT Raja   Grafindo Persada, 2005)
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: As-syamil, 2000)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Prees, 1986)
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI,          2003)
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008)



[1] Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI 2003) h. 5
[2] Mahrus, Ali, Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008), h.1
[3] Barda Nawawi, Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2000), h. 11
[4] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: As-Syamil, 2000) h. 75
[5] Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h. 42-45
[6] Redaksi Sinar Grafika, KUHP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 90
[7] Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) h. 80
[8] Ibid, h. 81
[9] Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Op.cit, h. 28
[10] Muhammad Rawas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo Persada ,1999), h. 265
[11] Al-Nawâwiy, Abû Zakariya Yahya ibn Syaraf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz I, h 99
[12] Muslim bin Al-Haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy Al-Naisaburiy (Al Muslim), Shahih Al Muslim Bairut : Dar al-Fikr, t.th, Juz 8, h.29
[13] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahanya, (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999) h. 147
[14] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhariy, ( Beirut : Dar al-Fikr 1981) Juz 20, h. 248
[15] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) h.
[16] Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan, Op.cit, h.3
[17] Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007) h 66.
[18] Zainuddin Ali, Op.Cit, h.1
[19] Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 3
[20] Prasetyo Irawan, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: DIA FISIP UI, 2006). H. 52
[21] Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Prees, 1986)h. 52
[22] Ibid, h. 60