Malpraktek


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.
Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional  wrongdoing ;ol illegal or unethical practice.(malpraktek bisa diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di oxford Illustrated  dictionary,2nded,1975: Malpraktice = Wrongdoing;(law) Improper  treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit  while I position of trust. (Malpraktek=Sikap  atau tindakan yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang  tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan). Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas,serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya,baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya. Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip  diatas,maka dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional,dolus,opzettelijk) melanggar undang-undang dan ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling buming di bicarakan di media-media adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-temannya melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran nama baik.



B.   Rumusan  Masalah
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hukum?.
Terlepas dari kasus Prita, banyak sekali orang yang menjadi korban kasus Malpraktik. Mengapa dokter di negara kita ini bertindak semaunya dan tidak teliti? Tidak sadarkah bahwa keselamatan seorang pasien berada ditangannya? Kesalahan yang dilakukan Dokter seperti ini mengapa masih saja dilindungi oleh pihak rumah sakit bahkan hukum? Bukankah seharusnya hukum membela hak asasi manusia. Lalu mengapa dalam kasus ini hukum bertindak sangat lemah? Mengapa hukum seperti tidak dapat melihat kebenaran? Seharusnya yang seorang pasien korban malpraktik berhak menuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan. Tapi mengapa justru pihak rumah sakit tersebut yang menuntut ganti rugi kepada pasien yang menjadi korban malpraktik akibat kelalaian tim medisnya dengan tuduhan pencemaran nama baik? Apakah hal ini adil? Bukankah semua manusia sama derajatnya dihadapan hukum?
Hukum terlihat begitu memihak pada pihak yang lebih memiliki kuasa dan uang. Hukum lemah dalam memperjuangkan hak rakyatnya yang telah menjadi korban malpraktik.
Sebenarnya siapa yang paling bersalah dalam kasus seperti ini? Tentu saja pihak rumah sakit. Mengapa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukan? Haruskah mempersulit masalah seperti ini demi melindungi nama baik rumah sakit?. Dengan tersebarnya kasus seperti ini walaupun belum terungkap yang sebenarnya, nama rumah sakit tersebut sudah mendapat keraguan dari masyarakat. Tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus ini timbul karena kesalahan dari pihak rumah sakit. Mengapa kasus ini harus dibesar-besarkan yang justru membuat nama rumah sakit tersebut tercemar? Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pertanggung jawaban bukan fakta yang dibalikkan. Pasien yang justru dirugikan dan tidak mendapat pertanggung jawaban.
Dalam hal ini benar-benar hukum harus berlaku adil tanpa memandang siapa dan apa kekuasaan yang dimiliknya. Siapapun dia kalau memang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Dalam kasus seperti ini, ada sanksi bagi tim medis atau dokter yang melakukan malpraktik akibat unsur kesengajaan dan kelalaian. Dalam Undang-undang KUHP pasal 360 yang berbunyi:
1.      Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
2.      Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-lukasedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharia selama waktu tertentu, diancam dengan  pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah’.
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum. Dan dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya. Tunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipermainkan dengan uang dan kekuasaan. Bukankah manusia sama dimata hukum, maka pihak yang berwenang harus lebih tegas dan adil dalam menghadapi kasus malpraktek ini. Karena Hukum berlaku adil dan jujur dihadapan Tuhan dan rakyatnya.

BAB II
PEMBAHASAN

Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga keehatan seprti doter atau bidan, tetapi juga diperlukanuntuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek).
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1.    Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.    Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.    Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4.    Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.    Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6.    Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).






BAB III
PENUTUP

Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3 aspek/hal:
1.    Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja. Dokter yang berpraktik dengan tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang ada dan tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal).
2.    Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik, namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu tapi tidak sempurna.
3.    Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler melakukan operasi tulang.
Ketiga hal tersebut diatas itulah berdasarkan teori masuk kategori malpratik namun bagaimana secara yuridis atau aturan hukum positif kita. Dalam undang-undang kesehatan maupun dalam undang-undang praktik kedokteran tidak ada satu kata pun yang menyebut kata malpraktik. Pada undang-undang kesehatan menyebut kesalahan/kelalaian yang dilakukan dokter atau doker gigi dan dalam undang-undang praktik kedokteran menyebut kata kesalahan saja. Begitu pula dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun kitab undang-undang hukum perdata hanya menyebut kata kesalahan dan kelalaian. Bilamana kita menelaah dan mengkaji tentang malpraktik dalam hukum positif kita, maka dapatlah dikatakan bahwa malpraktik yang dimaksud itu adalah perbuatan-perbuatan yang jelek atau buruk yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang dikarenakan karena adanya kesalahan atau kelalaian oleh dokter atau dokter gigi yang berakibat cacatnya pasien atau matinya pasien ataupun akibat lain terhadap pasien.




DAFTAR PUSTAKA

Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984. Sabir Alwy, Mal praktikdi Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.

Contoh format surat kuasa khusus


SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:
Mahbub Mahbubun
Pendidikan
:
S-1/  Starata 1
Pekerjaan
:
proyektor
Alamat
:
Kp. Reungas tonggoh
Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor Advokat Taufik SH, MH dan Rekan di Jl. Cilawu Indah No. 89 Garut. Menerangkan bahwa dengan ini memberi kuasa penuh kepada:

Taufik SH, MH

Untuk mengurus dan membela kepentingan hukum Pemberi Kuasa sebagai pengugat melawan Zapuh Al-Batros Umur 35 tahun, Agama Kristen, Pendidikan S-2/ Strata 2, Pekerjaan Dosen, Alamat Jalan Ci Gonewa No.35 Garut Sebagai tergugat. Dalam pengugatan Hak Cipta dengan pengugat dan akan di ajukan ke Pengadilan Negeri.

Dan selanjutnya Penerima Kuasa;
Dapat mewakili didepan dan menghadap dihadapan Pejabat/Instansi-instansi, jawatan- jawatan, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, hakim-hakim Pengadilan Negeri, menghadiri semua persidangan di Pengadilan Negeri,memberikan keterangan secara lisan/tertulis, mengajukan serta menandatangani segala surat-surat, permohonan/pengaduan/gugatan, bantahan, perlawanan dan  menggunakan kuasa ini dalam tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali.
Diberikan hak untuk melimpahkan kuasa ini(Substitusi) kepada orang lain baik seluruh ataupun sebagaian dalam hal tertentu dan menarik kembali kuasa ini.


                                                                                               Garut 27 Oktober 2011


    Penerima Kuasa                                                                  Pemberi Kuasa




Taufik SH, MH                                                                       Mahbub Mahbubun

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KASUS DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia, sejak awal penciptaan, di dalam dirinya terdapat kepribadian yang beragam dan dikendalikan kecenderungan (naluri) berbeda. Secara fitriyah, individu tidak akan berkembang dengan berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia ialah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam memenuhi kebutuhannya guna menyempurnakan kehidupan di muka bumi. Dengan demikian, kehidupan manusia adalah kehidupan berkelompok, di mana tiap individu saling membutuhkan dalam membangun kehidupan bermasyarakat menuju kehidupan yang damai.[1]
Karakter koletivitas dalam setiap diri manusia, yang disebut Aristoteles dengan zoon politicon, bermuara pada kehadiran cita-cita, keinginan, kebutuhan, dan usaha manusia mewujudkan keharmonisan. Kepentingan seseorang dapat berkait erat dengan kepentingan orang lain. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling menjatuhkan, tetapi dapat pula sebagai kesamaan rasa kolektif sehingga manusia dapat memikul berbagai kepentingan. Namun, adakalanya tiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-kepentingan sendiri, sehingga menimbulkan pertentangan. Hal demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.[2]
            Meskipun setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan (chaos) antara sesama anggota masyarakat. Dalam bahasa lain, mereka menginginkan sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud. Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-Undang  Dasar negara tersebut.[3]
            Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) tiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.[4]
            Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.[5] Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, hukum terdiri dari hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.[6] Kemudian ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata, hukum dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda, sebagai contoh, hukum pidana berfungsi menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan tata negara ditaati sepenuhnya.
            Delik penganiayaan merupakan salah satu bidang garapan dari hukum pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh.[7] Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP ditentukan pula ancaman pidanya. Demikian juga pada delik penganiayaan serta delik pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada KUHP buku I bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih mengarah kepada pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.[8]
            Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat bermacam-macam hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM (Human Right) yang bersifat primer (Daruriyyah) yang meliputi perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-syari’ah. Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok tersebut dapat diwujudkan dan dipelihara.[9]   
Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan memelihara manusia seluruhnya.[10]
            Hukum pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada al-qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.[11] Mengenai masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam dengan hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qisas, ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.[12]
            Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik pada hukum pidana Islam maupun pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan matinya janin.
            Ada bebarapa hal yang menjadikan kenapa penyusun tertarik untuk membahas kasus tersebut, yang pertama adalah bahwa belum adanya penelitian yang membahas kasus tersebut dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayan atau pembunuhan saja. Yang kedua adalah selama ini sering terjadi tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan yang menimbulkan berbagai akibat, salah satunya adalah kasus penganiayaan seperti yang yang dikemukakan dalam penelitian ini. Latar belakang terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan adanya kelakuan yang tidak wajar sehingga akan menimbulkan aib apabila diketahui oleh masyarakat, seperti adanya kehamilan di luar pernikahan atau akibat perkosaan. Sedangkan berkenaan dengan kasus-kasus tersebut belum ada ketegasan mengenai sanksi-sanksi hukumnya.

B. Rumusan Masalah

            Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang menjadi perhatian dalam penyusunan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perspektif hukum pidana Islam tentang delik penganiayaan terhadap wanita hamil yang mengakibatkan meninggalnya janin?
2.      Bagaimana ketentuan sistem hukum Islam di Indonesia dalam menangani matinya janin yang ada dalam kandungan akibat penganiayaan ?
3.      Apa saja problematika yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum pidana Islam dalam kasus penganiayaan wanita hamil yang mengakibatkan kematian janin?
C.  Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah:
a. Tujuan
1.      Mengetahui perspektif hukum pidana Islam tentang delik penganiayaan terhadap wanita hamil yang mengakibatkan meninggalnya janin.
2.      Mengetahui ketentuan sistem hukum Islam di Indonesia dalam menangani matinya janin yang ada dalam kandungan akibat penganiayaan.
3.      Mengetahui problematika yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum pidana Islam dalam kasus penganiayaan wanita hamil yang mengakibatkan kematian janin.
b.  Kegunaan
Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif mengenai  delik penganiayaan serta delik pembunuhan.

D.   Telaah Pustaka
            Karya-karya pemikiran yang membahas masalah hukum, baik itu hukum Islam maupun hukum positif sangat banyak macam dan coraknya. Disamping itu banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis, tetapi karya pemikiran yang menggunakan tehnik perbandingan antara kedua sistem hukum tersebut  masih belum begitu banyak.
            Sepanjang pelacakan dan penelaahan yang penyusun lakukan, baik di kalangan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SGD Bandung maupun sacara umum, belum ada karya penelitian yang membahas pada permasalahan delik penganiayaan yang berhubungan dengan pembunuhan dengan cara membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif, lebih-lebih masuk pada pembahasan tentang sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan matinya janin.
            Namun sebenarnya telah ada buku-buku yang membahas delik panganiayaan,   baik itu dari segi hukum Islam maupun hukum positif, akan tetapi pembahasannya masih bersifat parsial. Diantara  buku-buku yang membahas masalah itu, yang sekaligus dijadikan sebagai sumber data dari penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Topo Santoso, dengan judul Membumikan Hukum Pidana Islam, membahas berbagai permasalahan dalam hukum pidana Islam, mulai dari paradigma negatif terhadap hukum Islam dengan menggambarkan hukum pidana Islam secara utuh. Juga dibahas masalah jarimah pembunuhan serta jarimah penganiayaan[13].
Selain itu, kitab dengan judul at-Tazhib Fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-taqrib yang ditulis oleh Mustofa Raib al-Bagha juga menjelaskan masalah-masalah fiqh Islam. Di dalamnya terdapat penjelasan masalah jinayah yang memuat hukum qisas terhadap tindak pembunuhan maupun tindakan yang mengakibatkan cacat ataupun luka terhadap orang lain[14].
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,  Abdul Qadir ‘Audah dengan kitab at-Tayri’i al-Jina’i al-Islami, as-Sayyid Sabiq dengan kitab Fiqh as-Sunnah juga membahas tentang berbagai macam persoalan fiqh Islam beserta dalil-dalilnya. 
Sedangkan sebagai bahan perbandingan, dari segi hukum pidana positif, terdapat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan rujukan pokok dalam penentuan hukum di Indonesia. Dalam KUHP tersebut, dijabarkan mengenai delik penganiayaan, yaitu pada Buku II Bab XX Pasal 351-358. Sedangkan mengenai delik pembunuhan ada pada Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa, yaitu Pasal 338-350.
            Dalam KUHP, juga diterangkan bahwa setiap tindak pidana digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
1.      Dolus, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja.
2.      Culpa, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak sengaja, biasanya dikarenakan kealpaan atau kelalaian.[15]
Tindak pidana penganiayaan secara sengaja dibahas pada Pasal 351-358, sedangkan penganiayaan dikarenakan kealpaan (culpa) dijelaskan pada Pasal 360.   
            Buku lain yang berjudul Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, karya Leden Marpaung, menjelaskan tentang pembunuhan, yaitu tindak pidana terhadap nyawa[16] dan juga tentang penganiayaan, yaitu tindak pidana terhadap tubuh[17]. Di dalam buku itu juga dijelaskan macam dari pembunuhan ataupun dari penganiayaan berdasar pembagian yang ada dalam KUHP.


E.  Kerangka Teoretik
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh Pemerintah. Meskipun peraturan-peraturan telah dikeluarkan, masih ada saja yang melanggar peraturan-peraturan, misalnya dalam hal penganiayaan, yaitu tindak pidana terhadap tubuh dan yang bertentangan dengan hukum (KUHP Pasal 351-358). Terhadap orang ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredinger), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu kitab undang-undang yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang disingkat KUHP (WvS).[18]
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayah) didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang  diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commision) atau tidak melakukan (ommision) suatu perbuatan yang membawa hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.[19]
Klasifikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas oleh para ahli hukum Islam adalah hudud, qisas, dan ta’zir. Kategori qisas jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori qisas ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan  karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qisas ini.[20]
Penganiayaan dalam KUHP tidak dirumuskan elemen-elemen atau unsur-unsurnya, melainkan hanya menyebutkan qualifikasinya atau nama deliknya saja, yaitu penganiayaan (mishandeling) dipidana, dan seterunya.
Menurut Doctrine (ilmu pengetahuan), penganiayaan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain. Sedangkan menurut penafsiran dari H.R. (Hoge Raad) penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.[21]
Melukai atau penganiayaan (jinayah terhadap selain jiwa) bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu :
1.         Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya
2.         Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban buta, tuli, bisu dan sebagainya
3.         Asy-Syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)
4.         Al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada
5.         Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.[22]
Sedangkan pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Secara umum, pembunuhan dibagi menjadi tiga macam[23], yaitu :
1.  Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya.
2.  Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian orang yang dianiaya tersebut .
3.  Pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yaitu pembunuhan yang disebabkan salah dalam perbuatan[24], salah dalam maksud[25], dan kelalaian[26].
Adapun syarat-syarat dari qisas dalam penganiayaan adalah sebagai berikut:
1.      Persamaan nama yang khusus, seperti kanan dengan kanan, kiri dengan kiri.
2.      Keadaan yang terpotong tidak kurang daripada anggota yang dipotong, maka tidak dipotong bagian yang sempurna dengan sebab bagian yang syalal (lumpuh).[27]
3.      Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan tidak selalu mendapatkan hukuman qisas dapat juga diyat (denda), hal ini seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi bersabda :
من قتل له قتيل فهوبخيرالنظرين إما أن يودي و إما أن يقاد [28]
Sedangkan penganiayaan yang diatur dalam KUHP terdiri dari :
1.      Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
a.       Penganiayaan biasa
b.      Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
c.       Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati
2.      Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
3.      Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan rincian sebagai berikut :
a.       Mengakibatkan luka berat
b.      Mengakibatkan orangnya mati
4.      Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
a.       Mengakibatkan luka berat
b.      Mengakibatkan orangnya mati
5.      Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
a.       Penganiayaan berat dan berencana
b.      Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya mati.[29]
Selain delik penganiayaan, KUHP juga menagatur delik pembunuhan yang terdapat dalam Buku II Bab XIX tentang kejahatan terhadap jiwa manusia, kemudian yang berkaitan dengan pembunuhan terhadap janin dirinci sebagai :
1.      Pembunuhan terhadap bayi (kinder doodlog)
2.      Pembunuhan terhadap bayi dengan rencana terlebih dahulu (kinder moord)
3.      Kejahatan terhadap bayi yang baru saja dilahirkan atau belum beberapa lama setelah dilahirkan
4.      Kejahatan terhadap jiwa anak yang masih berada dalam kandungan (abortus)
5.      Pengguguran yang dilakukan oleh ibu kandung sendiri
6.      Pengguguran oleh orang lain tanpa persetujuan si ibu
7.      Pengguguran oleh orang lain dengan persetujuan si ibu
8.      Pengguguran yang dilakukan oleh dokter, bidan atau juru obat.[30] 
Sanksi dari tindak pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu sebagai berikut[31] :
1.      Pidana Pokok, terdiri dari :
a.       Pidana mati,
b.      Pidana penjara,
c.       Kurungan,
d.      Denda                                                                                                                                                         
e.  Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946)[32]
2.      Pidana tambahan, terdiri dari :
a.       Pencabutan hak-hak tertentu,
b.      Perampasan barang-barang tertentu,
c.       Pengumuman putusan hakim.
Suatu ancaman hukuman akan dapat menahan manusia untuk melaksanakan kejahatan, yakni ancaman yang bersifat preventif. Apabila orang telah mengetahui lebih dulu, bahwa ia akan mendapatkan hukuman, maka ia akan takut melakukan perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah sosial.[33]

F.   Metode Penelitian
            Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling  akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.[34]
            Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.   Jenis Penelitian
      jenis penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau majalah.[35]  Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang berbeda mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan kematian janin melalui kajian pustaka.
2.   Sifat Penelitian
       Sifat penelitian ini adalah deskriptif, analitik serta komparatif. Metode deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta tersebut[36], sedang analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna[37], kemudian komparatif dengan membandingkan  hasil yang didapat, dalam hal ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran masalah dan landasan penyelesaian.
3.    Pengumpulan Data
       Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan mengumpulkan pendapat dari para sarjana dan ulama melalui buku-buku,  kitab-kitab serta karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun skunder akan diuji  kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.
       Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah, dari segi hukum Islam: al-Fiqh wa Adillatuh karya Wahbah az-Zuhaili, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami karya Abdul Qadir ‘Audah, Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj al-Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi,  At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib  karya Mustafa Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana positif, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Moeljatno, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya Leden Marpaung, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana oleh Chidir Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M. Sudradjat Bassar dan lain-lain.
4     Pendekatan
        Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengambil beberapa aturan atau ketentuan yang ada mengenai delik penganiayaan maupun pembunuhan yang bersumber dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menjelaskan teks-teks yang memerlukan penjelasan, terutama dalam hukum pidana Islam.
5.    Analisa Data
       Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah  analisa kualitatif dengan cara berfikir induktif, deduktif dan komparatif. Induktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum, metode ini penyusun gunakan untuk menganalisis kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, sedangkan deduktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus.[38] Dengan metode ini penyusun mencoba menganalisa data untuk mengungkapkan ketentuan-ketentuan hukum tentang penganiayaan juga tentang pembunuhan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan persamaan   antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut, sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.

G.   Sistematika Pembahasan
            Untuk memberikan gambaran umum mengenai isi karya tulis ini dan lebih mudahnya dalam pembahasan penyusunan, maka disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut :
            BAB I, adalah pendahuluan. Pendahuluan ini memuat latar belakang masalah yang kemudian dirumuskan pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka yang menguraikan beberapa kajian terdahulu baik berupa buku-buku atau kitab-kitab atau artikel yang ada relevansinya dengan pembahasan yang dapat dijadikan pedoman bagi penelusuran penelitian ini, selanjutnya disusul dengan pembahasan kerangka teoretik baik dari hukum pidana Islam maupun dari hukum pidana positif, dilanjutkan dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
BAB II, penyusun akan menguraikan tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam. Pembahasan ini akan dimulai dengan pendefisian mengenai delik penganiayaan serta delik pembunuhan dilanjutkan dengan memaparkan pembagian delik penganiayaan serta pembunuhan, juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan serta pembunuhan. Penyusun menguraikan delik penganiayaan serta pembunuhan ditinjau dari segi hukum pidana positif. pembahasan ini juga meliputi pengertian pengertian delik penganiayaan serta delik pembunuhan, klasifikasi kedua delik tersebut dan diakhiri dengan penjelasan sanksi-sanksinya.
BAB III merupakan bab yang berisi kajian perbandingan terhadap sistem hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif dihadapkan pada kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin yang dikandung. Analisis tersebut ditinjau dari dua segi, yaitu segi tindak pidana dan segi pidananya, yang keduanya berisikan persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.
BAB IV, yaitu bab terakhir dalam skripsi ini akan dikemukakan kesimpulan yang merupakan jawaban akhir dari pokok permasalahan yang ada. Dan dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran dari penyusun serta kata penutup.  



DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, t.t.
Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Armico, Bandung, 1985.
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.  
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jilid I, Aksara Baru, Jakarta, 1980.
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1. cet. ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2003.
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Mustafa Raib al-Bagha, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib, Bungkul Indah, Surabaya, 1978.
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta,  1985.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Roke Sarasin, Yogyakarta, 1998.
Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33, Rajawali, Jakarta, 1983.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, UI-Press, Jakarta, 1986.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18, Attahiriyah, Jakarta, 1981.
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1977. 
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Gema Insani Press, Jakarta, 2003.  
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7, Bandung: t.np.,1994.


[1]. Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
[2]. Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 25.
[3]. Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 1.
[4]. Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 48.
[5]. Ibid., hlm. 49.
[6]. Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 26.
[7]. Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1. cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 50.
[8]. Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), hlm.6.
[9]. Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71-72.
[10].Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 71-72.  
[11]. Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum  (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), hlm. 132.
[12]. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18  (Jakarta: Attahiriyah, 1981), hlm. 406.
[13]. Topo Santoso, Ibid., hlm. 37-38.
[14].  Mustafa Raib al-Bagha, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib  (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 191-202.
[15].  Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Ibid, hlm. 9.
[16]. Leden Marpaung, Ibid., hlm. 19-49.
[17].  Ibid., hlm. 50-63.
[18]. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7 (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 257.
[19]. Topo Santoso, Ibid., hlm. 20.
[20]. Ibid., hlm. 22-23.
[21]. Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
[22]. Topo Santoso, Ibid., hlm. 38.
[23]. Ibid., hlm. 36-37.
[24]. Misalnya melakukan suatu perbuatan dengan tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi mengakibatkan kematian seseorang.
[25]. Seseorang melakukan perbuatan dengan niat membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata tidak boleh, misalnya dengan sengaja menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tapi ternyata teman sendiri.
[26]. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi kelalaiannya menimbulkan kematian.
[27]. Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa at-Taqrib  (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 195.
[28]. Ibid., hlm. 192. Lihat juga Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
[29]. Leden Marpaung, Ibid., hlm. 50.
[30]. Chidir Ali, Ibid., hlm.71-72.
[31]. Moeljatno, Ibid., hlm.6.
[32]. Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
[33]. Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Ibid., hlm. 27.
[34]. Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 9
[35]. Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7 (Bandung: t.np.,1994), hlm. 25.
[36]. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 10.
[37]. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4 (Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998), hlm. 43.
[38]. Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977), hlm. 50.