Malpraktek


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.
Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional  wrongdoing ;ol illegal or unethical practice.(malpraktek bisa diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di oxford Illustrated  dictionary,2nded,1975: Malpraktice = Wrongdoing;(law) Improper  treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit  while I position of trust. (Malpraktek=Sikap  atau tindakan yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang  tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan). Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas,serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya,baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya. Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip  diatas,maka dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional,dolus,opzettelijk) melanggar undang-undang dan ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling buming di bicarakan di media-media adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-temannya melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran nama baik.



B.   Rumusan  Masalah
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hukum?.
Terlepas dari kasus Prita, banyak sekali orang yang menjadi korban kasus Malpraktik. Mengapa dokter di negara kita ini bertindak semaunya dan tidak teliti? Tidak sadarkah bahwa keselamatan seorang pasien berada ditangannya? Kesalahan yang dilakukan Dokter seperti ini mengapa masih saja dilindungi oleh pihak rumah sakit bahkan hukum? Bukankah seharusnya hukum membela hak asasi manusia. Lalu mengapa dalam kasus ini hukum bertindak sangat lemah? Mengapa hukum seperti tidak dapat melihat kebenaran? Seharusnya yang seorang pasien korban malpraktik berhak menuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan. Tapi mengapa justru pihak rumah sakit tersebut yang menuntut ganti rugi kepada pasien yang menjadi korban malpraktik akibat kelalaian tim medisnya dengan tuduhan pencemaran nama baik? Apakah hal ini adil? Bukankah semua manusia sama derajatnya dihadapan hukum?
Hukum terlihat begitu memihak pada pihak yang lebih memiliki kuasa dan uang. Hukum lemah dalam memperjuangkan hak rakyatnya yang telah menjadi korban malpraktik.
Sebenarnya siapa yang paling bersalah dalam kasus seperti ini? Tentu saja pihak rumah sakit. Mengapa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukan? Haruskah mempersulit masalah seperti ini demi melindungi nama baik rumah sakit?. Dengan tersebarnya kasus seperti ini walaupun belum terungkap yang sebenarnya, nama rumah sakit tersebut sudah mendapat keraguan dari masyarakat. Tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus ini timbul karena kesalahan dari pihak rumah sakit. Mengapa kasus ini harus dibesar-besarkan yang justru membuat nama rumah sakit tersebut tercemar? Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pertanggung jawaban bukan fakta yang dibalikkan. Pasien yang justru dirugikan dan tidak mendapat pertanggung jawaban.
Dalam hal ini benar-benar hukum harus berlaku adil tanpa memandang siapa dan apa kekuasaan yang dimiliknya. Siapapun dia kalau memang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Dalam kasus seperti ini, ada sanksi bagi tim medis atau dokter yang melakukan malpraktik akibat unsur kesengajaan dan kelalaian. Dalam Undang-undang KUHP pasal 360 yang berbunyi:
1.      Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
2.      Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-lukasedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharia selama waktu tertentu, diancam dengan  pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah’.
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum. Dan dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya. Tunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipermainkan dengan uang dan kekuasaan. Bukankah manusia sama dimata hukum, maka pihak yang berwenang harus lebih tegas dan adil dalam menghadapi kasus malpraktek ini. Karena Hukum berlaku adil dan jujur dihadapan Tuhan dan rakyatnya.

BAB II
PEMBAHASAN

Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga keehatan seprti doter atau bidan, tetapi juga diperlukanuntuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek).
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1.    Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.    Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.    Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4.    Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.    Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6.    Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).






BAB III
PENUTUP

Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3 aspek/hal:
1.    Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja. Dokter yang berpraktik dengan tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang ada dan tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal).
2.    Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik, namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu tapi tidak sempurna.
3.    Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler melakukan operasi tulang.
Ketiga hal tersebut diatas itulah berdasarkan teori masuk kategori malpratik namun bagaimana secara yuridis atau aturan hukum positif kita. Dalam undang-undang kesehatan maupun dalam undang-undang praktik kedokteran tidak ada satu kata pun yang menyebut kata malpraktik. Pada undang-undang kesehatan menyebut kesalahan/kelalaian yang dilakukan dokter atau doker gigi dan dalam undang-undang praktik kedokteran menyebut kata kesalahan saja. Begitu pula dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun kitab undang-undang hukum perdata hanya menyebut kata kesalahan dan kelalaian. Bilamana kita menelaah dan mengkaji tentang malpraktik dalam hukum positif kita, maka dapatlah dikatakan bahwa malpraktik yang dimaksud itu adalah perbuatan-perbuatan yang jelek atau buruk yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang dikarenakan karena adanya kesalahan atau kelalaian oleh dokter atau dokter gigi yang berakibat cacatnya pasien atau matinya pasien ataupun akibat lain terhadap pasien.




DAFTAR PUSTAKA

Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984. Sabir Alwy, Mal praktikdi Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.