BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang
semakin tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang seimbang, merupakan faktor
yang amat mempengaruhi tentang masalah ketenagakerjaan di tanah air Indonesia.
Dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan di
Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni zaman perbudakan di
mana terjadi penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang berkemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada masa
itu.
Jika hubungan antara pekerja dan pengusaha tetap diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak, maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan
sosial di bidang perburuhan akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat
selalu ingin menguasai pihak yang lemah. Pengusaha sebagai pihak yang kuat
secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada pada posisi
yang lemah/rendah.
Atas dasar itu, pemerintah secara berangsur-angsur turut serta dalam
menangani masalah perburuhan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang
memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja.
Campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan melalui peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan telah membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum
perburuhan menjadi ganda yakni sifat privat dan sifat publik. Sifat privat
melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Sedangkan sifat publik dari
hukum perburuhan dapat dilihat dari adanya sanksi pidana, sanksi administratif
bagi pelanggar ketentuan di bidang perburuhan/ketenagakerjaan dan dapat dilihat
dari adanya ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar
upah (upah minimum).[1]
Hubungan kerja
merupakan hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya
perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.
Saat ini masih
banyak pekerja yang tidak mengerti akan hak dan kewajibannya sehingga banyak pekerja
yang merasa dirugikan oleh pengusaha yang memaksakan kehendaknya pada pihak pekerja
dengan mendiktekan perjanjian kerja tersebut pada pekerjanya. Isi dari
penyelenggaraan hubungan kerja tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang yang bersifat memaksa ataupun yang bertentangan dengan tata
susila yang berlaku dalam masyarakat, ataupun ketertiban umum. Bila hal
tersebut sampai terjadi maka perjanjian kerja tersebut dianggap tidak sah dan
batal.
Perjanjian kerja
memegang peranan penting dan merupakan sarana untuk mewujudkan hubungan kerja
yang baik dalam praktek sehari-hari, maka perjanjian kerja pada umumnya hanya
berlaku bagi pekerja dan pengusaha yang mengadakan perjanjian kerja. Dengan
adanya perjanjian kerja, pengusaha harus mampu memberikan pengarahan/penempatan
kerja sehubungan dengan adanya kewajiban mengusahakan pekerjaan atau
menyediakan pekerjaan, yang tak lain untuk mengurangi jumlah pengangguran di
Indonesia.
Walaupun suatu
perjanjian kerja telah mengikat para pihak, namun dalam pelakasanaannya sering
berjalan tidak seperti apa yang diharapkan misalnya masalah jam masuk kerja,
masalah upah, sehingga menimbulkan perselisihan paham mengenai hubungan kerja
dan akhirnya terjadilah pemutusan hubungan kerja.
Tenaga kerja
merupakan faktor produksi yang masih belum terpenuhi hak-haknya dan sering diperlakukan
semena-mena, jam kerja melampaui batas, upah tidak layak, upah minimum belum
dilaksanakan, jaminan sosial kurang diperhatikan sehingga pekerja masih ada
juga yang hidup dalam kekurangan. Tujuan pekerja bekerja adalah untuk
memperoleh upah sebagai imbalan atas tenaga yang ia keluarkan, dan upah bagi
pekerja sebagai akibat dari perjanjian kerja yang merupakan faktor utama,
karena upah merupakan sasaran penting bagi pekerja guna menghidupi pekerja dan
keluarganya demi kelangsungan hidupnya.
Dua pandangan
yang berbeda antara pengusaha dan pihak pekerja mengenai upah yaitu di satu
pihak pekerja melihat upah sebagai jaminan hidup karena harus diperoleh
setinggi mungkin, sedangkan pihak pengusaha melihat upah sebagai komponen biaya
produksi maka upah harus ditekan serendah mungkin. Akibat dari perbedaan
pendapat atau pandangan dari kedua belah pihak inilah yang merupakan sumber
perselisihan yang sering terjadi. Kedudukan pekerja sebagai individu dalam
hubungan kerja masih tergolong lemah, dalam hal ini pekerja sering menuntut
perbaikan upah, biasanya hal ini tidak dipenuhi oleh pihak pengusaha. Tuntutan
dari pihak pekerja kemungkinan kecil akan berhasil, tetapi keberhasilan itu
selalu dibayang-bayangi akan adanya pemecatan dan juga ancaman akan diputuskan
hubungan kerjanya apabila pekerja tersebut berbuat di luar kehendak pengusaha
yang sudah ditetapkan.
Mulai tanggal 1
Oktober 2005, pemerintah mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut, dalam suatu perseroan
telah menimbulkan banyak permasalahan antara pekerja dengan pengusahanya
misalnya mengenai masalah upah/gaji yang dinilai sudah tidak mencukupi
kebutuhan hidup para pekerja sehari-hari berhubung dengan kenaikan harga-harga
barang yang diakibatkan kenaikan harga BBM tersebut.
PT. Sapta Bina
Flamindo sebagai lingkungan pekerja tertentu, pelaksanaan/penyelenggaraan
hubungan kerjanya pun tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahannya yang
timbul adalah dari kepentingan pihak pengusaha maupun kepentingan pihak pekerja,
yaitu masing-masing pihak menuntut agar selalu diperhatikan oleh pihak lainnya
dalam hubungan kerja tersebut, walaupun tuntutannya itu menyimpang dari
perjanjian kerja yang telah disepakati bersama, karena pekerja menuntut
kenaikan gaji yang dinilai sudah tidak mencukupi kehidupan buruh sehari-hari yang
diakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang sebetulnya secara hukum hal
tersebut tidak dapat dilakukan mengingat para pekerja masih terikat dalam perjanjian
kerja selama 2 tahun.
Pengusaha
menuntut pekerja agar bekerja dengan semangat penuh karena pengusaha sedang
mengejar target dan pengusaha enggan menaikan upah pekerja disebabkan kontrak
kerja pekerja tersebut belum berakhir. Dan upaya pengusaha sebelum kenaikan BBM
adalah menaikkan upah lembur bagi pekerja-pekerjanya agar para pekerja bekerja
dengan semangat penuh. Namun dengan keadaan ekonomi sekarang ini yang serba
tidak stabil mempengaruhi semangat kerja para pekerja menjadi menurun drastis akibat
harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari juga ikut naik dan menyebabkan
penghasilan para pekerja otomatis tidak mencukupi kebutuhan hidup pekerja
sehari-hari dan semangat kerja para pekerja juga ikut menurun. Penjualan
produk-produk karet yang dalam sebulan kira-kira mencapai ±350 ton/bulannya sebelum
kenaikan BBM, menjadi ±300 ton/bulannya akibat kenaikan BBM tersebut. Dan upaya
dari pengusaha untuk menghadapi kendala tersebut adalah menjanjikan kenaikan
upah pada para pekerja apabila para pekerja mampu bekerja dengan semangat
penuh. Hal ini menyebabkan para pekerja bekerja dengan semangat kerja yang menggebu-gebu
karena menginginkan upah seperti yang dijanjikan oleh pengusaha. Dengan
dipenuhi tuntutan para pekerja yaitu dinaikkan gaji pokok masing-masing pekerja
sebesar 10% oleh pengusaha mengakibatkan penjualan bermacam-macam jenis karet
yang semula dari bulan Oktober tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun
2005 yang dalam sebulannya kira-kira mencapai jumlah ± 300 ton akibat kenaikan
harga BBM. Dan pada bulan Januari tahun 2006, penjualan berbagai macam jenis
karet menjadi sejumlah ±400 ton/bulannya dikarenakan pihak pengusaha menaikkan upah/gaji
pokok masing-masing pekerja sebesar 10 %.
Menurut
pengamatan penulis bahwa turunnya semangat kerja, banyak faktor yang menjadi
penyebabnya, misalnya upah terlalu rendah, insentif kurang terarah, lingkungan
kerja fisik yang buruk, lingkungan sosial yang kurang menyenangkan dan masih
bermacam-macam sebab lainnya. Tetapi sebetulnya prinsip turunnya semangat kerja
disebabkan ketidakpuasan para pekerja baik pada barang material (upah, jaminan
sosial fasilitas material) maupun pada bidang non material (penghargaan sebagai
manusia, kebutuhan berpartisipasi, harga diri). Bila tidak diketahui
sebab-sebab turunnya semangat kerja, maka pemecahan permasalahan yang timbul
hanya akan bersifat tambal sulam semata-mata atau hanya pada
permukaan/kulitnya.[2]
Dalam hubungan
kerja timbul perselisihan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja biasanya
berpokok pangkal karena ada perasaan-perasaan kurang puas. Pengusaha memberikan
kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik akan diterima oleh para
pekerja, namun para pekerja yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan
pandangan yang berbeda-beda, maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan
pengusaha itu menjadi tidak sama, pihak pekerja yang merasa puas akan tetap
terus bekerja sedangkan pihak pekerja yang merasa tidak puas akan menunjukkan
semangat kerja yang menurun hingga terjadi perselisihan-perselisihan.
Dalam hubungan
kerja di PT. Sapta Bina Flamindo timbullah perselisihan dimana pihak pekerja
menuntut kenaikan upah dan pihak pengusaha enggan menaikkan upah pekerja tersebut
karena para pekerja masih terikat kontrak kerja selama 2 tahun sehingga
timbullah perselisihan. Pengusaha enggan menaikkan upah para pekerja karena
melihat ketentuan Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yakni: “Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”. Atas
dasar itulah pengusaha enggan menaikkan upah pekerja dan apabila upah para
pekerja tidak dinaikkan, maka para pekerja akan bekerja dengan semangat yang
menurun dan menyebabkan penjualan bermacam-macam jenis karet otomatis akan ikut
menurun dan perusahaan tersebut juga akan terancam bangkrut. Upaya pengusaha mengatasi permasalahan yang timbul
adalah menjanjikan kenaikan upah terhadap para pekerjanya apabila bekerja
dengan semangat penuh. Dengan janji tersebut, para pekerja bekerja dengan
semangat penuh dan pada akhirnya menyebabkan penjualan bermacam-macam jenis
karet mengalami peningkatan. Karena sesuai dengan janji pengusaha tersebut,
maka pengusaha memenuhi janjinya dengan menaikkan upah pokok para pekerja
sebesar 10%, meskipun kebijakan pengusaha tersebut bertentangan dengan Pasal 59
ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan
ini dalam satu tulisan Karya Ilmiah dengan judul “Perubahan Perjanjian Kerja
Terhadap Status Para Pekerja Waktu Tertentu Setelah Kenaikan Upah (Studi Kasus PT.
Sapta Bina Flamindo).”
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan
diangkat penulis adalah bagaimana perubahan perjanjian kerja terhadap status
para pekerja waktu tertentu setelah kenaikan upah pada PT. Sapta Bina Flamindo?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan :
Untuk mengetahui perubahan perjanjian kerja
terhadap status para pekerja waktu tertentu setelah kenaikan upah pada PT.
Sapta Bina Flamindo.
Kegunaan :
Keguanaan Teoritis :
Agar mahasiswa/mahasiswi mengetahui status dari
pekerja waktu tertentu akibat perubahan perjanjian kerja setelah kenaikan upah.
Kegunaan Praktis :
Agar para pekerja dan pengusaha dapat
menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi antara pihak pengusaha dan pekerja
sewaktu melangsungkan hubungan kerja.
D. Kerangka Konseptual
Dilihat dari aspek judul dan
permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka dalam hal ini perlu dijelaskan
lebih dahulu mengenai hal tertentu sebagai berikut:
- Berdasarkan
Kamus Umum Bahasa Indonesia, perubahan
adalah hal berubahnya sesuatu; pertukaran; peralihan.[3]
- Berdasarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3,
pekerja adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
- Berdasarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka
14, perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
- Menurut
Imam Soepomo, perjanjian kerja
adalah perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan diri untuk
bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan
diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah.[4]
- Menurut
Darwan Prinst, upah adalah suatu
penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh atas prestasi
berupa pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan oleh Tenaga
Kerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang.[5]
- Berdasarkan
Kamus Hukum Sudarsono, upah adalah
uang dan sebgainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai
pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan tenaga yang sudah
dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu gaji atau imbalan.[6]
- Berdasarkan
Kamus Hukum Sudarsono, status adalah
keadaan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di lingkungannya.[7]
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh
peneliti untuk meneliti permasalahan seperti telah diuraikan di atas adalah:[8]
- Normatif
atau library research, yaitu penelitian ini didasarkan literatur hukum
atau studi dokumen yang diambil dari bahan-bahan pustaka, yang terdiri
dari:
- Bahan
hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan bahan hukum yang utama
dan belum diolah oleh orang lain (seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan).
- Bahan
hukum sekunder yaitu bahan yang sudah dikelola oleh orang lain atau oleh
peneliti yang pakar dibidangnya (seperti buku-buku, artikel koran dan
sumber lainnya seperti internet).
- Bahan
hukum tersier yaitu bahan yang diteliti itu ada di dalam kamus-kamus yang
berkaitan dengan hal-hal yang akan dibahas.
- Empiris
atau field research merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti langsung di lapangan atau masyarakat dalam hal ini adalah PT.
Sapta Bina Flamindo. Metode penelitian ini dilakukan untuk mendapat data
dengan cara wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada saudari Susanti yang bekerja mengurusi Bagian Umum
dan saudari Lumi yang mengurusi Bagian Administrasi/Pembukuan pada
PT.Karya Bina Bersama.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam mengikuti
sajian pembahasan materi skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat
Bab demi Bab yang terkait guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap
arah pembahasan seperti di bawah ini:
BAB I Pendahuluan
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai latar
belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual,
dan sistematika penulisan.
BAB II Kerangka
Teoretis
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai pengertian hubungan
kerja, perjanjian kerja, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, perselisihan
perburuhan dan pengertian upah.
BAB III Data
Hasil Penelitian
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai sejarah
berdirinya PT. Sapta Bina Flamindo, struktur organisasinya serta membahas
mengenai gambaran umum hasil penelitian di PT. Sapta Bina Flamindo.
BAB IV Analisis Permasalahan
Menganalisis mengenai status para pekerja waktu
tertentu akibat perubahan perjanjian kerja baru yang terjadi antara pengusaha
dengan pekerja pada PT. Sapta Bina Flamindo.
BAB V Kesimpulan
dan Saran
Merupakan Bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Hubungan Kerja
Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha,
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan
di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan
membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari
pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum
lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha.
Menurut Hartono Widodo dan
Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa
seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya
(pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.[9]
Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan
bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha
dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu
tertentu maupun tidak tertentu.[10]
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal
mengenai:
- Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan
titik tolak adanya suatu hubungan kerja)
- Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan
pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)
- Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar
upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)
- Berakhirnya Hubungan Kerja
- Cara Penyelesaian Perselisihan antara
pihak-pihak yang bersangkutan
B.
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian
antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja
hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus
memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu
hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Selanjutnya perihal pengertian
perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian
kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana
ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan
dan adanya suatu hubungan di peratas
(bahasa Belanda “dierstverhanding”)
yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).[11]
Perjanjian kerja yang
didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan;
demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman
sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan.[12]
Bagi perjanjian kerja tidak
dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan
surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat
perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya
menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan
biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang
diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan
dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Sebagai bagian dari perjanjian
pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasl 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per).
Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat
atas dasar:
- Kesepakatan kedua belah pihak;
- Kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum;
- Adanya pekerjaan yang dijanjkan;
- Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak
yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat,
setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak
yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang
ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua
belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha
cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika
yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan
batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat
perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per adalah hal tertentu. Pekerjaan
yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan
pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Obyek perjanjian (pekerjaan)
harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu
unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat tersebut
bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa
perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan
atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata
disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat
perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang
diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut
obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu
batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah
ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian
tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak
bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak
cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim.
Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum
dibatalkan oleh hakim.
Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja:
1. Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu
perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan
tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin pengusaha
dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1603a yang berbunyi:
“Buruh
wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat
menyuruh orang ketiga menggantikannya”.
Sifat
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan
dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal
dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
2. Adanya unsur perintah
Manifestasi
dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang
bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara
dengan klien. Hubungan tersebut merupakan hubungan kerja karena dokter,
pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien.
3. Adanya upah
Upah
memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat
dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah
untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan
tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang
diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan
yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel.
4. Waktu Tertentu
Yang hendak
ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere
tijd sebagai unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus
atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan
kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan
dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu
tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin
pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.[13]
Jangka waktu
perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang
dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja
yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja
yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kerja
kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja
tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat
untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan
status pekerjanya adalah pekerja tetap.
Perjanjian kerja
yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 Ayat
(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan
sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59
Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
- Pekerjaan yang
sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- Pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
- Pekerjaan yang
bersifat musiman; atau
- Pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
C.
Kewajiban Pekerja
Kewajiban adalah
suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang
karena kedudukan atau statusnya. Adapun kewajiban dari pekerja adalah sebagai
berikut:[14]
1. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi
majikan;
2. Wajib mematuhi Peraturan Perusahaan;
3. Wajib mematuhi Perjanjian Kerja;
4. Wajib mematuhi Perjanjian Perburuhan;
5. Wajib menjaga Rahasia Perusahaan;
6. Wajib mematuhi peraturan majikan;
Adapun kewajiban
pekerja lainnya tercantum dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu kewajiban membayar ganti rugi kepada pihak
lainnya (pengusaha) sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja apabila mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu.
D.
Kewajiban Pengusaha
- Kewajiban membayar upah; dalam
hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada
pekerjanya secara tepat waktu. (Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) Ketentuan tentang upah ini telah
mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik. Hal ini terlihat dari
campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah minimum yang harus
dibayar oleh pengusaha yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Mengenai masalah upah juga ditegaskan
lebih lanjut dalam Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 2093 Tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi
(UPM) Tahun 2006 di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dimana
dijelaskan bahwa upah minimum di propinsi daerah khusus Ibukota Jakarta
sebesar Rp. 819.100 perbulan. Dan perusahaan yang telah memberikan upah
lebih tinggi dari ketentuan UPM/Upah Minimum Sektoral Propinsi Propinsi
DKI Jakarta, dilarang mengurangi/menurunkan upah sesuai dengan ketentuan
Pasal 17 Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: Per-01/Men/1999 tanggal
12 Januari 1999 tentang Upah Minimum.
- Kewajiban memberikan istirahat/cuti;
pihak pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada
pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya untuk
menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Cuti tahunan
yang lamanya 12 hari kerja. Selain itu pekerja/buruh juga berhak atas cuti
panjang selama 2 bulan setelah bekerja terus menerus selama 6 tahun pada
suatu perusahaan (Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan)
- Kewajiban menyediakan fasilitas
kesejahteraan bagi para pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja
penyediaan fasilitas kesejahteraan dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan pekerja dan ukuran kemampuan perusahaan. (Pasal 100 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
- Kewajiban untuk memberitahukan dan
menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau
perubahannya kepada pekerja. (Pasal 114 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan)
- Kewajiban untuk melaksanakan
ketentuan waktu kerja. Waktu kerja yang dimaksud meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.
c. (Pasal 77 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
E.
Perselisihan Perburuhan
Secara umum setiap
pertentangan atau ketidak sesuaian antara majikan dengan buruh mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan merupakan
perselisihan perburuhan.
Dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 1). Atas dasar itu, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi
perselisihan hubungan industrial menjadi:
1. Perselisihan Hak
Perselisihan
hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa perselisihan
hak merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat
pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya
hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, menurut Iman Soepomo, perselisihan
hak ini terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan
hubungan kerja.[15]
1. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang
timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
(Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial). Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka
perbedaan antara perselisihan hak dan perselisihan kepentingan yang dikenal
selama ini dalam kepustakaan didasarkan atas para pihak yang bersengketa, yakni
pekerja dan perseorangan, terlibat dalam perselisihan hak, sedangkan pekerja
secara kolektif/organisasi menjadi para pihak dalam perselisihan kepentingan
sudah tidak dijadikan acuan lagi. Pekerja, baik secara pribadi maupun kolektif,
saat ini dapat menjadi para pihak dalam perselisihan hak maupun perselisihan
kepentingan.
2. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Perselisihan mengenai PHK selama ini paling banyak
terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak dan pihak lain
tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak
pengusaha/majikan maupun pekerja/buruh. Dari majikan/pengusaha dilakukan karena
buruh/pekerja melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian
sebaliknya, PHK juga dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak
pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat
sewenang-wenangnya kepada buruh/pekerja.
3. Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dalam Satu Perusahaan
Perselisihan antar-serikat
pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena
tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Sejalan dengan era keterbukaan
dan demokratisasi, dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan
unutk berserikat bagi pekerja/buruh, sehingga jumlah serikat pekerja/buruh di
suatu perusahaan tidak dapat dibatasi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kemudahan bagi buruh untuk
membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) Tingkat Perusahaan (TP), yakni
minimum sepuluh orang anggota. Undang-undang ini juga menekankan bahwa siapapun
dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau tidak membentuk Serikat
Pekerja (SP) atau Serikat Buruh (SB)-TP. Ketentuan ini mengandung makna bahwa
tidak seorang pu yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk menjadi pengurus
atau anggota seriakt SP/SP-TP, atau melarang serikat tersebut melakukan atau
tidak melakukan aktivitasnya.
F.
Upah
Upah adalah
merupakan faktor yang amat penting dalam kehidupan manusia. Maka dari itu soal
upah untuk pekerja suatu perusahaan bukan urusan yang mudah, karenanya perlu
diatur dalam perundang-undangan. Pengusaha melihat upah sebagai komponen biaya
produksi dari berbagai barang dan jasa yang dihasilkan, oleh karena itu harus
dilakukan upaya menekan upah itu sendiri.[16]
Pemerintah melihat
upah sebagai suatu standar hidup masyarakat, oleh karena itu rumusan upah harus
dapat mencipatakan iklim usaha dan sosial yang baik, agar dengan demikian
berbagai kepentingan masyarakat bisa dipadukan.[17]
Pekerja memandang upah sebagai
komponen pokok penghasilan yang tersedia baginya untuk menjamin kelangsungan
hidupnya beserta keluarganya, meningkatkan penghidupan di tengah-tengah
lingkungannya serta mempertahankan martabat sebagai warga yang baik, untuk itu segala
upaya harus dilakukan meningkatkan upahnya.[18]
Perbedaan pandangan ini dapat dilihat
pada rumusan-rumusan di bawah ini:
- Menurut Soepomo, dalam bukunya Pengantar
Hukum Perburuhan mengatakan : “Upah adalah pembayaran yang diterima buruh
selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan.
- Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah : “Upah
adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk
suatu pekerjaan/jasa telah atau akan dilakukan, dinyatakan/dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan/perjanjian kerja
antara pengusaha dengan pekerja, termasuk tunjangan kerja antara pengusah
dengan pekerja, termasuk tunjangan, baik buruh itu sendiri, maupun
keluarganya.
Upah adalah pembayaran yang
diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan
pekerjaan.[19]
Dipandang dari sudut nilainya, upah itu dibeda-bedakan antara upah nominal dan upah riil. Upah nominal yaitu jumlah yang berupa uang sedangkan
upah riil yaitu banyaknya barang yang dapat dibeli dengan jumlah uang itu. Bagi
buruh yang penting ialah upah riil ini, karena dengan upahnya itu harus
mendapatkan cukup barang yang diperlukan untuk kehidupannya bersama dengan
keluarganya. Kenaikan upah nominal tidak mempunyai arti bagi pekerja, jika
kenaikan upah itu disertai dengan atau disusul oleh kenaikan harga keperluan
hidup dalam arti kata seluas-luasnya.
Jadi upah yang
diberikan kepada seseorang, selain seharusnya sebanding dengan
kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan dan juga seharusnya cukup memadai atau
bermanfaat bagi pemuas/ memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Pekerja menerima
upah, selama ia melakukan pekerjaan pembayaran upah itu harus menjadi dorongan
untuk mempertinggi semangat kerja dan menambah prestasi kerja. Pendapatan yang
dihasilkan para pekerja atas pekerjaan/kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan
dalam perjanjian kerja di suatu perusahaan, dapat dikatakan sangat berperan
dalam hubungan perburuhan dan sebagai dasar hubungan perburuhan yang baik, maka
sudah selayaknya kalau seorang pekerja:
1. Memperoleh sejumlah pendapatan
yang cukup dengan pertimbangan dapat menjamin kebutuhan hidup yang pokok
beserta keluarganya.
2. Merasakan kepuasan berkenaan
dengan adanya kesesuaian pendapat dengan orang lain yang mengerjakan pekerjaan
yang sejenis di perusahaan-perusahaan lainnya.
Jika dilihat dari
segi bentuknya upah dapat dibedakan atas:
3. Upah Nominal,
“Yang dimaksud dengan upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan
kepada para buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan
jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian kerja di bidang industri atau perusahaan ataupun dalam suatu
organisasi kerja, di mana ke dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau
keuntungan yang lain diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering disebut
dengan upah uang sehubungan dengan wujudnya memang berupa uang secara
keseluruhan”.[20]
4. Upah Nyata,
“Yang dimaksud dengan upah nyata adalah upah yang harus benar-benar
diterima oleh seseorang yang berhak”.[21]
Upah nyata ini
ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang tergantung dari:
a. Besar kecilnya jumlah uang
yang akan diterima.
b. Besar atau kecilnya biaya
hidup yang diperlukan
Adakalanya upah itu diterima dalam
bentuk uang atau fasilitas atau in natura,
maka upah nyata yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dari
fasilitas dan in natura tersebut.
5. Upah Hidup,
“Dalam hal ini upah yang akan diterima seorang buruh itu relatif cukup
untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan
pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial
keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bagi bahan pangan yang memiliki
nilai-nilai gizi yang lebih baik, iuran asuransi jiwa dan beberapa lainnya
lagi”.[22]
Kemungkinan setelah masyarakat adil dan makmur yang sedang kita perjuangkan
dapat terwujud sebaik-baiknya upah yang diterima buruh pada umumnya dapat
berupa uang ataupun kalau perusahaannya itu dapat berkembang dengan baik, akan
menjadi perusahaan yang kuat yang akan mampu memberi upah, oleh karena itu maka
kedua belah pihak sebaiknya berjuang, berpahit-pahit dulu agar perusahaan kuat
itu dapat terwujud.
6. Upah Minimum,
“Pendapatan yang dihasilkan para buruh pada suatu perusahaan sangat
berperan dalam hubungan perburuhan. Bertitik tolak dari hubungan formal ini
haruslah tidak dilupakan bahwa seorang buruh adalah seorang manusia dan dilihat
dari segi kemanusiaan, sewajarlah kalau seseorang buruh itu mendapatkan
penghargaan yang wajar atau perlindungan yang layak”.[23]
Upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya,
walaupun dalam arti yang sederhana.
7. Upah yang Wajar,
“Ialah sebagai upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh pengusaha
dan para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang diberikan buruh
kepada pengusaha atau perusahaan, sesuai dengan perjanjian kerja di antara
mereka. Upah yang wajar ini sangat bervariasi dan bergerak antara upah minimum
dan upah hidup, yang diperkirakan oleh pengusaha cukup untuk mengatasi
kebutuhan-kebutuhan buruh dan keluarganya, di samping mencukupi kebutuhan pokok
juga beberapa kebutuhan lainnya transport, dan sebagainya”.[24]
Faktor-faktor yang
mempengaruhi upah wajar adalah sebagai berikut:
a. Kondisi ekonomi negara secara
umumnya,
b. Nilai upah rata-rata di daerah
di mana perusahaan itu beroperasi,
c. Posisi perusahaan dilihat dari
struktur ekonomi negara,
d. Undang-undang terutama yang
mengatur masalah upah dan jam kerja,
e. Ketentuan-ketentuan umum yang
berlaku dalam lingkungan perusahaan,
f. Peraturan perpajakan,
g. Pengusaha dan organisasi buruh
yang mengutamakan gerak saling harga menghargai dan musyawarah serta mufakat
dalam mengatasi segala kesulitan,
h. Standar hidup para buruh
sendiri.
Menurut cara menetapkan upah, terdapat
berbagai sistem upah, sebagai
berikut:
- Sistem
upah jangka waktu
Menurut sistem pengupahan ini upah ditetapkan menurut jangka waktu pekerja
melakukan pekerjaan: untuk tiap jam diberi upah
jam-jaman, untuk bekerja diberi upah
harian, untuk seminggu bekerja diberi upah
mingguan, untuk sebulan bekerja diberi upah
bulanan dan sebagainya.
Dalam sistem ini buruh menerima upah yang tetap. Karena untuk waktu-waktu
yang tertentu pekerja akan menerima upah yang tertentu pula, pekerja tidak
perlu melakukan pekerjaannya secara tergesa-gesa untuk mengejar hasil yang
sebanyak-banyaknya, sehingga dengan demikian dapat diharapkan pekerja akan
bekerja dengan baik dan teliti.
Sebaliknya dalam sistem pengupahan ini, tidak ada cukup dorongan untuk
bekerja secara giat, bahkan kadang-kadang hasilnya kurang dari yang layak yang
dapat diharapkan. Karena itu sistem ini sering kali disertai dengan sistem premi. Dari buruh dimintakan
untuk jangka waktu tertentu suatu hasil yang tertentu, jika ia dapat
menghasilkan lebih dari yang telah ditentukan itu, ia mendapat premi.
- Sistem
upah potongan
Sistem upah potongan ini seringkali digunakan untuk mengganti sistem upah
jangka waktu, di mana atau bilamana hasil pekerjaan tidak memuaskan. Karena
upah ini hanya dapat ditetapkan jika hasil pekerjaan dapat diukur menurut
ukuran tertentu, misalnya jumlah banyaknya, jumlah beratnya, jumlah luasnya
dari apa yang dikerjakan, maka sistem pengupahan ini tidak dapat digunakan di
semua perusahaan;
Manfaatnya sistem
pengupahan ini adalah:
- Pekerja
mendapat dorongan untuk bekerja giat, karena makin banyak ia menghasilkan,
makin banyak pula upah yang akan diterimanya;
- Produktivitas
pekerja dinaikkan setinggi-tingginya;
- Barang
modal seperti alat dan sebagainya, digunakan secara intensif.
Tetapi sebaliknya sistem ini
memungkinkan keburukan sebagai berikut:
- Kegiatan
pekerja yang berlebih-lebihan;
- Pekerja
kurang mengindahkan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kesehatannya;
- Kurang
teliti dalam mengerjakan sesuatu;
- Upah
tidak tetap.
Untuk menampung keburukan ini, ada
kalanya sistem upah potongan ini, digabungkan dengan sistem upah jangka waktu
menjadi sistem upah potongan dengan upah
minimum. Dalam sistem upah gabungan ini ditentukan:
a. Upah minimum untuk jangka
waktu yang tertentu misalnya upah minimum sehari.
b. Jumlah banyaknya hasil yang
sedikit-dikitnya untuk pekerjaan sehari. Jika pada suatu hari pekerja hanya
menghasilkan jumlah yang minimum itu ataupun kurang dari minimum itu, ia akan
juga hanya menerima upah minimum sehari itu. Jika ia menghasilkan lebih banyak
dari minimum itu ia menerima upah menurut banyaknya hasil pekerjaan itu.
3. Sistem upah permupakatan
Sistem pengupahan ini pada dasarnya
adalah upah potongan, yaitu upah untuk hasil pekerjaan tertentu, misalnya pada
pembuatan jalan, pekerjaan memuat, membongkar dan mengangkut barang dan
sebagainya, tetapi upah itu bukanlah diberikan kepada pekerja masing-masing,
melainkan kepada sekumpulan pekerja yang bersama-sama melakukan pekerjaan itu.
4. Sistem skala upah berubah
Pada sistem skala upah berubah ini
terdapat pertalian antara upah dengan harga penjualan hasil perusahaan. Cara
pengupahan ini dapat dijalankan oleh perusahaan yang harga barang hasilnya
untuk sebagian terbesar atau seluruhnya tergantung dari harga pasaran di luar
negeri. Upah akan naik atau turun menurut naik turunnya harga penjualan barang
hasil perusahaan. Cara pengupahan ini terdapat pada perusahaan pertambangan dan
pabrik baja di Inggris.
Dalam sistem ini yang menimbulkan
kesulitan adalah bilamana harga barang itu turun yang dengan sendirinya akan
mengakibatan penurunan upah. Karena buruh sudah biasa menerima upah yang lebih
tinggi, maka penurunan upah akan menimbulkan perselisihan.
5. Upah Indeks
Upah indeks merupakan upah yang naik
turun menurut naik turunnya angka indeks biaya penghidupan. Naik turunnya upah
itu tidak mempengaruhi nilai riil dari upah.
6. Sistem pembagian keuntungan
Di samping upah yang diterima pekerja
pada waktu-waktu tertentu, pada penutupan tahun buku bila ternyata pengusaha
mendapat keuntungan yang cukup besar, kepada pekerja diberikan sebagian dari
keuntungan itu.
Sistem pembagian keuntungan ini pada
umumnya tidak disukai oleh pihak pengusaha dengan alasan bahwa keuntungan itu
adalah pembayaran bagi risiko yang menjadi tanggungan pengusaha. Pekerja tidak
ikut menanggung bila perusahaan menderita rugi.
Karena itu pengusaha pada umumnya
lebih condong pada system copartnership,
di mana pekerja dengan jalan menabung diberi kesempatan menjadi persero dalam
perusahaan. System copartnership ini
sekarang banyak dijalankan misalnya di Amerika Serikat, Belanda, dan lain-lain.
BAB III
DATA HASIL PENELITIAN
A. Sejarah Singkat
PT. Sapta Bina Flamindo merupakan perusahaan perseorangan yang secara
resmi didirikan pada tanggal 25 Juni 1996 di Medan, yang akta pendiriannya
dibuat di hadapan Notaris Afrizal Arsad Hakim, SH., di Medan, dan akta
pendirian tersebut telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik
Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1996 dengan nomor pengesahan C2-8479
HT.01.01.TH.96.
Adapun bidang usaha yang dilakukan atau dikerjakan
oleh PT. Sapta Bina Flamindo adalah:
1.
Menyelenggarakan usaha-usaha pemborong umum (general
contractor) untuk segala macam dan jenis pekerjaan, termasuk pemborong
bangunan-bangunan, jembatan, konstruksi besi, jalan-jalan, saluran air
(irigasi) dan pekerjaan lain yang mempunyai kaitan dengan usaha itu;
2.
Menyelenggarakan usaha-usaha di bidang real-estate/developer
dan lain-lain usaha yang ada kaitannya dengan itu, baik secara langsung maupun
tidak langsung;
3.
Menyelenggarakan usaha-usaha sebagai grosir,
distributor, leveransir dan supplier;
4.
Berdagang pada umumnya, termasuk perdagangan impor dan
ekspor serta antar pulau dan perdagangan lokal, baik untuk perdagangan sendiri
maupun secara komisi atas perhitungan pihak lain;
5.
Menjalankan usaha pengangkutan di darat dengan
mempergunakan kendaraan bermotor;
6.
Menyelenggarakan usaha eksploitasi perkebunan dan
pertanian, baik milik sendiri maupun kepunyaan pihak lain;
7.
Menjalankan usaha-usaha yang bertalian dengan usaha
Agrobisnis;
8.
Menjalankan usaha-usaha dalam bidang jasa, kecuali jasa
dalam bidang hukum dan pajak;
9.
Menjalankan usaha-usaha dalam bidang industri dan
kerajian tangan dan perbengkelan;
10. Mengusahakan
perwakilan/keagenan perusahaan-perusahaan dan/atau perseroan-perseroan lain,
kecuali agen perjalanan.
B. Struktur Organisasi
Adapun struktur organisasi PT. Sapta Bina Flamindo berbentuk struktur
organisasi garis dimana tanggung jawab adalah dari atas ke bawah, maksudnya
kekuasaan dari pimpinan langsung kepada kepala bagian-bagian dalam organisasi
tersebut. Setiap kepala bagian mempunyai kekuasaan penuh dan bertanggung jawab
langsung kepada pimpinan perusahaan.
Untuk mengetahui lebih jelas
mengenai bentuk struktur organisasi PT. Sapta Bina Flamindo, di bawah ini
disajikan struktur organisasi pada PT. Sapta Bina Flamindo:
Yang masing-masing bagian
mempunyai tugas:
- Direktur
Di dalam
menjalankan tugasnya, direktur dibantu seorang wakil, di mana fungsi direktur
adalah memimpin dan mengawasi segala kegiata perusahaan, menerima
laporan-laporan dari seluruh kepala bagian mengenai urusan-urusan yang
menyangkut kegiatan perusahaan, mengadakan persetujuan kontrak pembelian dan
penjualan karet dengan pihak ketiga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perusahaan harus ada persetujuan lebih dahulu dari direktur. Sedangkan fungsi
wakil direktur adalah membantu direktur dalam melaksanakan tugas-tugas di
segala bidang yang menyangkut kegiatan perusahaan.
- Bagian Keuangan
Tugas dan Tanggung Jawab
bagian keuangan meliputi:
a. Mengawasi keuangan perusahaan terutama
posisi kas dan bank yang dilakukan sehari-hari;
b. Membantu pimpinan dalam usaha memperoleh
dana, baik itu untuk keperluan modal kerja ataupun untuk keperluan investasi
serta mengatur penggunaan uang perusahaan;
c. Bertanggung jawab atas tersedianya dana
guna menghadapi tagihan dan supplier, pembayaran bunga bank serta pelaksanaan
pembayaran pajak.
- Bagian Administrasi/Pembukuan
Tugas dan
tanggung jawab bagian administrasi/pembukuan adalah mengurus surat-surat,
kuitansi, faktur-faktur, yang berhungan dengan kegiatan perusahaan. Di samping
itu juga bertugas menganalisis rugi atau laba, menyusun kegiatan perusahaan,
membuat laporan harian maupun bulanan.
- Bagian Pembelian
Tugas dan tanggung jawab
bagian pembelian meliputi:
a. Bertanggung jawab atas pelaksanaan
pembelian bahan-bahan tersebut pada tingkat harga di mana perusahaan akan mampu
bersaing dalam memasarkan produknya;
b. Bertanggung jawab atas usaha-usaha untuk
dapat mengikuti perkembangan dalam harga dan faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi omset penjualan;
c. Bertanggung jawab atas kegiatan dengan
menyelidiki data dan perkembangan pasar di luar negeri agar dapat mengikuti
selera dari konsumen pada saat sekarang dan untuk masa yang akan datang.
- Bagian Penjualan
Melayani
kegiatan penjualan kepada pengusaha dari perusahaan lain dengan harga dan
syarat-syarat pembayaran yang telah ditentukan oleh pimpinan perusahaan
sebelumnya.
- Bagian Gudang
Tugas dan tanggung jawab
bagian gudang adalah:
a. Mengawasi keluar masuknya barang,
menyampaikan barang-barang yang telah dipesan oleh perusahaan lain baik di
dalam negeri maupun di luar negeri;
b. Memberikan laporan baik secara lisan
maupun tertulis kepada pimpinan tentang persediaan bahan-bahan yang ada dalam
gudang guna menghindari terjadinya kekurangan persediaan bahan-bahan;
c. Mengirimkan barang-barang yang telah
disiapkan sesuai dengan pesanan ke alamat masing-masing perusahaan tepat pad
waktunya.
- Bagian Umum
Tugas dan tanggung jawab
bagian umum adalah meliputi:
a. Memelihara disiplin karyawan dan
perburuhan, sekaligus secara keseluruhan;
b. Mengurus personalia dan perburuhan;
c. Menyelenggarakan training karyawan sesuai
dengan keahliannya;
d. Menyaring, menyelidiki calon karyawan
serta menguasai pengangkatan atau pemberhentian karyawan.
C.
Sistem Upah pada PT. Sapta Bina Flamindo
Kedudukan dan fungsi upah
adalah hak bagi pekerja dan kewajiban bagi pengusaha sebagai sarana untuk
memelihara, melestarikan dan meningkatkan kebutuhan hidupan manusia, ditatap
atas dasar nilai-nilai tugas seseorang dengan memperhatikan keseimbangan prestasi
dan kebutuhan pekerja.
Yang dimaksud dengan upah
menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah, adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk yang ditetapkan menurut suatu persetujuan
atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian
antara pengusaha dengan pekerja, termasuk tunjangan, baik untuk pekerja sendiri
maupun keluarganya.
- Jam Kerja dan Waktu Istirahat
Jam kerja perusahaan berarti pembatasan tenaga atau
pikiran agar pekerja tetap dalam kondisi yang baik, oleh karena itu perusahaan
PT.Karya Bina Bersama menetapkan jam kerja sebagai berikut:
Senin-Jumat mulai pukul
09.00-17.00
Waktu istirahat 12.00-13.00
Waktu istirahat 11.30-13.00
(khusus pada hari Jumat)
Waktu istirahat ialah waktu
yang dipergunakan untuk makan dan mengembalikan kondisi pada keadaan semula.
Waktu istirahat, perusahaan membedakan:
- Istirahat antara permulaan dan akhir
waktu bekerja
Maksudnya
waktu yang diberikan setelah karyawan bekerja terus-menerus selama 4 jam dan
tidak berhenti-henti atau juga dipergunakan untuk makan dan sembahyang.
- Istirahat mingguan
Maksudnya
istirahat yang diberikan pada hari-hari libur atau sedikit-dikitnya 2 hari
dalam 1 minggu yaitu hari Sabtu dan Minggu atau hari-hari libur yang diakui sah
oleh perusahaan yakni hari-hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Istirahat tahunan
Maksudnya
istirahat yang diberikan kepada pekerja, yang telah menjalani masa kerja baik
selama 12 bulan terus-menerus maupun yang terputus, diberi istirahat tahunan
yang sama ditetapkan selama 20 hari kerja perusahaan, yang harus diambil secara
berturut-turut terhitung sejak 1 minggu menjelang lebaran. Istirahat ini harus
diambil secara serentak oleh seluruh karyawan tanpa memandang perbedaan agama
sehingga kantor pusat serta kantor cabang dinyatakan tutup selama 20 hari
tersebut.
Adapun
ketentuan perusahaan tentang istirahat tahunan adalah sebagai berikut:
1) Hari raya (sebagaimana ditetapkan oleh
Menteri Agama Republik Indonesia) yang kebetulan jatuh pada masa istirahat
tahunan dianggap menjadi bagian dari masa istirahat tahunan.
2) Hari istirahat tahunan yang terdiri dari
20 hari, harus diambil secara sekaligus dan serentak oleh seluruh pekerja
dengan mendapatkan uang sebesar jumlah waktu istirahat yang diambil sesuai
dengan upah bulanan yang terdiri dari gaji pokok, uang makan, serta uang
kerajinan.
- Sistem Pengupahan
Pembayaran
yang dilakukan di PT. Sapta Bina Flamindo pada dasarnya meliputi upah pokok
ditambah dengan tunjangan-tunjangan lainnya seperti upah lembur, pembayaran
uang makan, pembayaran uang kendaraan, pembayaran uang insentif absensi, dinas
luar kota, tunjangan hari raya, serta bonus tahunan. Ini semua didasarkan atas
upaya guna mencapai kesejahteraan pekerjanya.
- Upah
Upah yang
dibayarkan adalah termasuk upah pokok ditambah dengan tunjangan uang lembur
(yang rutin) atau uang tunjangan jabatan.
- Uang Makan
Semua
pekerja diberikan makan siang dan bila perusahaan tidak menyediakan makan
siang, maka akan diberikan uang makan. Besarnya uang makan selama sebulan
dihitung berdasarkan jumlah kehadiran pekerja pada bulan yang bersangkutan
dikalikan dengan besarnya uang makan per hari, yang akan dibayarkan pada hari
terakhir masuk kerja pada bulan yang bersangkutan (tanggal 30 atau tanggal 31).
Yaitu pekerja harus sudah menyerahkan kasbon perincian uang makan untuk periode
yang bersangkutan pagi harinya kepada
kasir perusahaan.
- Uang Kendaraan
1) Sesuai dengan ketentuan perusahaan, maka
tunjangan ongkos kendaraan pekerja dari tempat tinggal ke kantor dan kembali,
telah dimasukkan ke dalam gaji bulanan pekerja tersebut.
2) Semua ongkos yang dikeluarkan oleh pekerja
sehubungn dengan tugas kantor, yang tidak termasuk dalam no c.1), di atas,
dapat diganti oleh perusahaan setelah memperoleh persetujuan atasan dan manajer
departemennya.
3) Perusahaan hanya akan mengganti uang
kendaraan seperti ongkos bis, mikrolet, patas, bajaj, atau ojek saja. Naik
taksi hanya diperkenankan untuk hal-hal yang khusus setelah mendapat
persetujuan dari atasan dan manager departemennya, yang akan menilai perlu
tidaknya penggunaan taksi tersebut.
4) Bagi pekerja yang telah memperoleh ”Transportation Allowance”, tidak berhak
lagi untuk mengajukan permohonan penggantian biaya/ongkos kendaraan untuk
keperluan tersebut di atas.
5) Untuk acara-acara tertentu dan rapat pada
hari kerja, di mana pekerja diharuskan pulang lebih dari jam 21.00, maka
perusahaan akan memberikan tunjangan ongkos kendaraan.
6) Bagi pekerja yang diharuskan hadir untuk
acara-acara perusahaan/rapat pada hari minggu/libur, akan diberikan tunjangan
ongkos kendaraaan juga.
7) Bagi pekerja yang memakai kendaraan
perusahaan untuk acara-acara tertentu dan rapat, maka untuk no.5) dan no.6)
tidak berlaku lagi.
- Tunjangan Hari Raya
Perusahaan
memberikan tunjangan hari raya kepada pekerja yang akan dibagikan pada waktu
menjelang Hari Raya Idul Fitri bagi yang Muslim dan menjelang Hari Raya Natal
bagi yang lainnya. Yang berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) adalah
pekerja yang pada hari jatuhnya Hari Raya tersebut mempunyai hubungan
kerja/masa kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan atau telah melewati masa
percobaan dan tidak terputus-putus. Besarnya Tunjangan Hari Raya adalah 1 bulan
gaji untuk pekerja yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun dan untuk
pekerja yang belum mempunyai masa kerja satu tahun dihitung secara proporsional
dengan masa kerjanya.
- Bonus Tahunan
Perusahaan
akan memberikan bonus tahunan kepada setiap pekerja, bila perusahaan
mendapatkan keuntungan. Besar kecilnya bonus untuk setiap pekerja tidak sama,
ditentukan berdasarkan prestasi dan kondisi kerja setiap pekerja. Untuk pekerja
baru yang telah melewati masa percobaan tetapi masa kerjanya belum 1 (satu)
tahun, diberikan bonus ini secara proporsional. Bonus tahunan diberikan setiap
bulan Desember atau April.
BAB IV
ANALISIS PERMASALAHAN
PT. Sapta Bina Flamindo adalah
perusahaan yang berbadan hukum yang melaksanakan perjanjian kerja dengan
pekerja. Perjanjian kerja tersebut dilakukan dengan jangka waktu tertentu
maupun jangka waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja yang dilakukan PT. Sapta
Bina Flamindo telah dilaksanakan sejak lama, yaitu sejak perusahaan ini berdiri
pada tahun 1996 dan hal ini berlangsung hingga sekarang. Mengenai pelaksanaan
perjanjian kerja, dilakukan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku
sejak dulu hingga sekarang.
Perjanjian kerja dilakukan
dengan jangka waktu tertentu dan jangka waktu tidak tertentu. Menurut peraturan
perundang-undangan negara Republik Indonesia, perjanjian kerja diatur dalam
berbagai macam peraturan yang dapat dijadikan bahan acuan dan dasar hukum
pelaksanaan perjanjian kerja. Dalam Pasal 1601 huruf (a) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer) dikatakan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
di mana pihak buruh mengikatkan diri untuk di bawah perintah pihak lain, dalam
hal ini majikan dengan menerima upah.
Selain Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
diatur juga mengenai perjanjian kerja di dalam Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dikatakan bahwa perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat
kerja, hak, kewajiban para pihak. Dan Perjanjian kerja yang dilakukan sudah
memenuhi persyaratan sebagaimana dalam KUHPer dan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang dibuat secara tertulis
sekurang-kurangnya memuat mengenai hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha,
namun yang terdapat pada PT. Sapta Bina Flamindo lebih banyak mengatur hak dan
kewajiban pekerja daripada hak dan kewajiban pengusaha.
Menurut pengamatan penulis, penulis beranggapan bahwa akibat dari
penerapan perjanjian kerja waktu tertentu selama 2 tahun yang mulai pada bulan
Juni 2005 dan berakhir pada bulan Juni tahun 2007 para pekerja mengeluhkan
keadaan ini karena berada dalam ruang lingkup pekerjaan yang tidak aman dan
nyaman, karena sewaktu-waktu dapat saja diberhentikan atau tidak diperpanjang
lagi masa kerjanya. Menghadapi posisi seperti ini, para pekerja tidak dapat
berbuat banyak karena mereka tidak mempunyai kesempatan dalam suatu forum yang
resmi untuk menyampaikan aspirasi mereka seperti melalui lembaga Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia, selain itu pengusaha juga tidak pernah mendengarkan
keinginan ini atau setidaknya melakukan pembicaraan dengan para pekerja,
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan masalah hubungan ketenagakerjaan.
Masalah hubungan ketenagakerjaan merupakan masalah yang membahas
seluk-beluk manusia dalam hubungan kerja sama dengan pihak lain untuk mencapai
tujuan masing-masing dalam organisasi kerja ataupun dalam perubahan. Produktivitas
kerja sangat penting karena hal ini berhubungan dengan keuntungan perusahaan.
Untuk memperoleh produktivitas yang tinggi perlu diketahui adanya faktor-faktor
yang berhubungan dan mempengaruhinya, antara lain yang berupa semangat kerja,
kepuasan kerja dan lingkungan kerja. Dengan semangat kerja yang tinggi,
diharapkan pekerjaanya lebih cepat selesai, absensi dapat diperkecil, kerusakan
dapat dikurangi, kemungkinan perpindahan karyawan dapat diperkecil, dan lain
sebagainya yang pada akhirnya ongkos-ongkos/biaya menjadi kecil dan
produktivitas kerja dapat ditingkatkan.d engan demikian keuntungan perusahaan
yang menjadi salah satu tujuan utamanya dapat direalisasi.
Namun perlu dijelaskan juga bahwa semangat kerja yang tinggi akan banyak
menguntungkan perusahaan. Hal ini berarti pula bahwa dengan turunnya atau
rendahnya semangat kerja maka berarti pula perusahaan atau organisasi kerja
akan memperoleh kerugian. Setiap perusahaan sangat perlu mengetahui indikator
turunnya semangat kerja, karena dengan demikian perusahaan akan dapat mengambil
tindakan pencegahan ataupun pemecahan sedini mungkin terhadap masalah yang akan
muncul di kemudian harinya. Adapun indikator
turunnya semangat kerja menurut Alex Nitisemito diantaranya:
- Turun/rendahnya produktivitas kerja
- Tingkat absensi yang tinggi/naik
- Tingkat perpindahan buruh (labour turn over) yang tinggi
- Tingkat kerusakan yang tinggi/naik
- Kegelisahan terdapat di mana-mana
- Tuntutan yang sering kali terjadi
- Pemogokan
Saat ini yang dihadapi PT.
Sapta Bina Flamindo berkisar seputar tuntutan para pekerja yang tidak dipenuhi
oleh pengusahanya. Para pekerja menuntut kenaikan upah/gaji karena menurut
mereka penghasilan yang diperoleh para pekerja setelah pengumuman kenaikan
Bahan Bakar Minyak pada bulan Oktober 2005 sudah tidak mencukupi kebutuhan
hidup para pekerja dalam membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Suatu
hubungan kerja, jika setelah si pekerja melakukan pekerjaannya dengan tunduk
pada perintah pengusaha, dalam rangka memenuhi prestasinya seperti yang telah
mereka buat di dalam perjanjian kerja, maka si pekerja tersebut berhak untuk
mendapatkan upah, ada dalam ketentuan Pasal 1602 KUHPer. Upah itulah yang
merupakan sarana penting bagi pekerja guna melindungi pekerja demi kelangsungan
hidupnya beserta keluarganya.
Melihat Keputusan Gubernur
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2093 Tahun 2005 tentang Penetapan
Upah Minimum Propinsi (UPM) Tahun 2006 di Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, dimana dijelaskan bahwa upah minimum di propinsi daerah khusus Ibukota
Jakarta sebesar Rp. 819.100 perbulan. Dan perusahaan yang telah memberikan upah
lebih tinggi dari ketentuan UPM/Upah Minimum Sektoral Propinsi Propinsi DKI
Jakarta, dilarang mengurangi/menurunkan upah sesuai dengan ketentuan Pasal 17
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: Per-01/Men/1999 tanggal 12 Januari
1999 tentang Upah Minimum.
Dari hasil pengamatan penulis,
para pekerja pada PT. Sapta Bina Flamindo telah digaji sesuai dengan upah
minimum yang dikeluarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 2093 Tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi (UPM)
Tahun 2006 di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yaitu sebesar Rp.850.000.
Namun penghasilan tersebut menurut para pekerja sudah tidak mencukupi untuk
menghidupi sanak keluarga bagi para pekerja terutama yang telah berkeluarga.
Sedangkan dari pihak pengusaha pada awalnya enggan menaikkan upah para pekerja
sebab para pekerja tersebut masih terikat kontrak kerja pada perusahaan selama
2 tahun yang dimulai pada bulan Juni tahun 2005 dan berakhir pada bulan Juni
tahun 2007. Jika melihat ketentuan Pasal 59 ayat (6) Undang-undang No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yakni: “Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2
(dua) tahun”.
Dari pasal tersebut di atas
tentang pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu, penulis berpendapat bahwa
para pekerja terikat kontrak kerja dengan pengusaha selama 2 tahun yang dimulai
pada bulan Juni tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2007, atas dasar itulah
pengusaha enggan menaikkan upah para pekerja karena kontrak kerjannya belum
berakhir, apabila pengusaha tidak segera mengambil tindakan maka tidak tertutup
kemungkinan perusahaan itu akan mengalami kebrangkutan karena melihat tuntutan
para pekerja yang tidak dipenuhi oleh pengusaha yang secara otomatis akan
mempengaruhi semangat kerja dari para pekerja. Akibatnya penjualan berbagai
macam jenis karet mengalami penurunan seperti yang telah diperlihatkan pada
tabel-tabel.
PT. Sapta Bina Flamindo
melihat keadaan perusahaan yang mengalami penurunan penjualan seperti ini,
pengusaha kemudian mengambil kebijakan tersendiri dalam mengatasi masalah yang
timbul dalam perusahaannya. Pengusaha menjanjikan kenaikan upah/gaji kepada
para pekerja agar mendorong semangat kerja para pekerja yang sempat menurun
karena tuntutan tidak dipenuhi kembali meningkat seperti sedia kala. Berkat
janji tersebut para pekerja bekerja dengan semangat penuh dan hasilnya
penjualan berbagai macam jenis karet mengalami peningkatan pada awal bulan
Januari 2006. Setelah melihat penjualan yang semakin meningkat ini dan
perusahaan tersebut sedikit demi sedikit telah terhindar dari masa-masa
krisisnya, pengusaha menepati janjinya kepada para pekerja yaitu menaikkan
upah/gaji pokok para pekerjanya sebesar 10%.
Menurut pengamatan penulis,
tindakan dari pengusaha menaikkan upah/gaji pokok para pekerja sebesar 10%
merupakan kebijakan dari pengusaha itu sendiri demi melindungi perusahaannya
dari ancaman kebrangkutan karena penjualan produk-produk karet mengalami
penurunan yang diakibatkan para pekerja bekerja dengan semangat menurun karena
tuntutan kenaikan upah oleh para pekerja pada awalnya tidak digubris oleh
pengusaha..
Dengan dinaikkannya upah/gaji
pokok para pekerja secara tidak langsung akan mengakibatkan dibuatnya
perjanjian kontrak kerja waktu tertentu yang baru antara para pekerja dengan
pengusaha namun kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha sebelumnya masih
belum berakhir sehingga hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (6)
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan dalam ketentuan
Pasal 59 ayat (7) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dijelaskan bahwa apabila perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Setelah para pekerja dinaikkan
upah/gaji pokoknya oleh pengusaha sebesar 10%, para pekeja tersebut masih
terikat dalam kontrak perjanjian kerja waktu tertentu selama 2 tahun yang akan
berakhir pada bulan Januari tahun 2008 dengan pengusaha padahal kontrak
perjanjian kerja waktu tertentu yang lama antara pekerja dan pengusaha yang
dimulai pada bulan Juni tahun 2005 masih belum berakhir. Karena pengusaha
menaikkan upah/gaji pokok para pekerja sebesar 10% maka kontrak kerja waktu
tertentu yang semula berakhir pada bulan Juni tahun 2007 digantikan dengan
kontrak kerja waktu tertentu yang baru antara pengusaha dan pekerja yang akan
berakhir pada bulan Januari tahun 2008. Dan menurut ketentuan Pasal 59 ayat (7)
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan seharusnya kontrak
perjanjian kerja waktu tertentu antara pekerja dengan pengusaha tersebut
berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Dari hasil pengamatan dan
wawancara yang diperoleh penulis dari saudari Susanti yang bekerja mengurusi
Bagian Umum dan saudari Lumi yang mengurusi Bagian Administrasi/Pembukuan, maka
penulis berpendapat bahwa PT. Sapta Bina Flamindo bertentangan dengan ketentuan
pasal 59 ayat (7) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena
para pekerja masih bekerja dengan kontrak perjanjian kerja waktu tertentu
dengan pengusaha selama 2 tahun yang dimulai pada bulan Januari tahun 2006 yang
berakhir pada bulan Januari tahun 2008. Seharusnya para pekerja yang berstatus
pekerja waktu tertentu yang masa kontraknya akan berakhir pada bulan Juni tahun
2007 berubah statusnya menjadi pekerja waktu tidak tertentu (tetap).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang diangkat oleh penulis yaitu mengenai
masalah perubahan perjanjian kerja terhadap status para pekerja waktu tertentu
setelah kenaikan upah, maka oleh penulis dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Para pekerja waktu tertentu PT. Sapta Bina Flamindo
menuntut kenaikan upah pada pengusaha akibat harga-harga kebutuhan pokok naik
yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan pengusaha menolak tuntutan kenaikan
upah pekerja dengan alasan surat perjanjian kerja belum berakhir. Perjanjian
kerja tersebut baru akan berakhir pada bulan Juni tahun 2007.
2.
Karena tidak terpenuhinya tuntutan tersebut di atas
oleh pengusaha, maka berakibat penjualan produk-produk karet dan semangat kerja
menurun. Oleh sebab itu, pengusaha menjanjikan kenaikan upah pokok sebesar 10%
pada pekerja yang menyebabkan semangat kerja para pekerja meningkat dan
penjualan produk-produk karet juga mengalami peningkatan. Dengan kenaikan
tersebut, pengusaha memperbarui perjanjian kerja waktu tertentu pekerja sebelum
berakhir masa waktu perjanjian kerjanya.
3. Pembaruan
perjanjian kerja tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun”. Pembaruan perjanjian kerja tersebut mengakibatkan
status pekerja waktu tertentu berubah menjadi pekerja waktu tidak tertentu.
B. Saran
Berdasarkan pada permasalahan yang diangkat
oleh penulis yaitu mengenai perbaruan perjanjian kerja terhadap status pekerja
waktu tertentu setelah kenaikan upah, maka dari itu penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Karena PT. Sapta Bina Flamindo tidak
mempunyai lembaga seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dalam
perusahaanya, maka pengusaha seharusnya lebih memperhatikan para pekerjanya dan
memberikan kesempatan para pekerja agar dapat menyampaikan aspirasinya agar
para pekerja dapat tetap bekerja dengan semangat penuh atau membentuk Serikat
Pekerja dalam perusahaanya.
2. Para pekerja PT. Sapta Bina Flamindo yang
terikat perjanjian kerja waktu tertetntu banyak yang mengeluh atas penerapan
perjanjian kerja tersebut karena bekerja dalam ruang lingkup pekerjaan yang
tidak aman dan nyaman, takut akan diberhentikan atau tidak diperpanjang lagi
masa kerjanya. Maka sara dari penulis adalah perjanjian kerja waktu tertentu
tidak diberlakukan lagi dalam PT. Sapta Bina Flamindo agar dapat mendorong
semangat kerja para pekerja.
3. seharusnya PT. Sapta Bina Flamindo tidak
membuat perjanjian kerja waktu tertentu yang baru, meskipun pengusaha menaikkan
upah pokok para pekerjanya sebesar 10%. Perjanjian kerja waktu tertentu baru
dapat diperbarui setelah melewati 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian
kerja yang lama.
[1] Lalu
Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta : Rajawali Pers,
2003), hal. 12.
[2] Sri
Soekemi, Jakoeb Hidajat, Koesjono, Materi
Pokok Hubungan Ketenagakerjaan,
(Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1988), hal. 3.12.
[3] W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1987), hal. 1116.
[4] Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2003), hal. 72.
[5] Darwan
Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1994), hal. 52.
[6]
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta, 1992), hal. 529.
[7] Ibid., hal. 457
[8] Soerjono
Soekanto, Pengantar Peneitian Hukum,
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 52.
[9] Hartono,
Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 10.
[10] Tjepi
F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan
ke-11, (Jakarta: BPHN, 1996), hal. 32.
[11] Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hal. 63.
[14] Darwan
Prinst, Op.Cit., hal. 26.
[15] Imam Soepomo, Op.cit., hal. 97.
[16] Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia, Pengupahan dan Permasalahannya,
seri Buku Pegangan/manual Yayasan Tenaga Kerja Indonesia NOFES (Friedrich Ebert
Stiftung) & PPSM (Pusat Pembinaan Sumber Daya Manusia), hal.5.
[19] Iman Soepomo, Op.Cit , hal. 179.
[20] G.Kartasapoetra, R.G.Kartasapoetra SH,
Ir. A.G.Kartasapoetra, Hukum Perburuhan
di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Cetakan ke 1, (Penerbit Bina Aksara,
1986), hal. 100.
[21] Ibid, hal. 100.
[22] Ibid, hal. 101.
[23] Ibid, hal. 101.
[24] Ibid, hal. 101.