BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Fenomena yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat kita sekarang ini adalah selalu igin cepat
menyelesaikan sesuatu hal tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari
perbuatannya tersebut, padahal perbuatannya itu sudah jelas-jelas dilarang.
Manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan pemuas diri dan bahkan
keinginan untuk mempertahankan status diri hal itu banyak dilakukan tanpa
berfikir secara matang yang dapat
merugikan lingkungan dan diri sendiri.
Salah satu fenomena
yang terjadi itu adalah masalah pendidikan. Masalah pendidikan merupakan
masalah yang kompleks karena yang terlibat didalamnya tidak hanya guru dengan
murid namun lembaga yang menaungi pendidikan tersebut dan pemerintah juga
terlibat di dalamnya.
Dilihat dari segi
pengertian Pendidikan
itu adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan fungsi Pendidikan nasional itu sendiri
yaitu mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) disatu sisi membawa hasil positif bagi
perkembangan, namun pada sisi lain disalah gunakan oleh sebagian orang yang
tidak beriktikat baik. Mereka melakukan cara-cara yang tidak terpuji yang
sepintas lalu tampaknya tidak terjangkau oleh peraturan perUndang-Undangan.[2]
Sebagaimana diketahui
kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Kejahatan
bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja
jatuh dari langit, semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan
semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan,
dengan kata lain kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu dari
perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat
yang sepi dari kejahatan.[3]
Setiap orang yang
melakukan kejahatan akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan
tersebut. Hukum Islam memiliki keluasan hukum serta saksi yang tidak didapati
dalam hukum-hukum buatan manusia.[4]
Adapun bentuk-bentuk
tindak pidana dalam pasal 67-71 Undang-Undang No 20 tahun 2003 adalah:
Pasal 67 ; ayat (1)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah,
sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
Ayat (2) Penyelenggara
perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan
masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (3) Penyelenggara pendidikan yang
memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (4) Penyelenggara
pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 68 Ayat (1)
Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) Setiap orang
yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (3) Setiap orang
yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan
yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ayat (4) Setiap orang
yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai
dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 69 ayat (1)
Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) Setiap orang
yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70 ; Lulusan yang
karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71 ;
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Secara garis besar
bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam pendidikan diantaranya :
Ijazah Palsu, sertifikat kompetensi,
gelar akademik, dan vokasi
Penyelenggara
pendidikan yang dinyatakan di tutup berdasarkan Undang-Undang ternyata masih
beroperasi. Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai
dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang
bersangkutan. Penyelenggara pendidikan yang memberikan gelar guru besar yang
tidak sesui dengan Undang-Undang. Penyelenggara pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tidak sesuai dengan yang disyaratkan Undang-Undang.
Lulusan yang karya
ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan.
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Di dalam KUHP
pemalsuan ijazah ini masuk kedalam pemalsuan surat yaitunya pasal 263 KUHP yang
berbunyi: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan untuk memakai atau menyuruh orang lain untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak
sipalsu, diancam jika memakai tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun[6].
Pemalsuan ijazah
disamping penipuan terhadap diri dan lembaga yang dipergunakannya dalam jangka
panjang berarti menghancurkan semagat berjuang yang fair yang sangat di
butuhkan oleh bangsa yang sedang mengejar ketertinggalannya seperti bangsa
Indonesia. Oleh karena itu ijazah palsu adalah musuh kebenaran, ijazah palsu
adalah jati diri pengguna ijazah tersebut, sekaligus lembaga yang
mengeluarkannya. Ijazah palsu adalah lambang dari ketidak berdayaan untuk
bersaing secara fair. Jadi ijazah palsu adalah musuh masyarakat yang
beradab.[7]
Jika sebuah masyarakat diwarnai ijazah
palsu, masyarakat tersebut tergolong kepada masyarakat yang tidak berfikir maju
yang akan tetap berada dalam ketertinggalannya. [8]
Ijazah memiliki
kesakralan akademik dimana orang yang telah layaklah yang berhak dan
diperkenankan untuk menerima dan dan menggunakannya sebagaimana yang terdapat
dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan pasal: 61 ayat 2 yang
berbunyi “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi”.[9]
Pada masa Umar bin
Khatab pernah terjadi kasus tentang Mu’an bin Zaidah yang memalsukan stempel
Baitul Mal, lalu penjaga baitul mal datang kepadanya untuk mengambil stempel
palsu tadi dan mengambil hartanya, kasus ini di dengar oleh Umar bin Khatab
maka Umar memukulnya seratus kali dan memenjarakannya, lalu dimarahi dan di
pukuli seratus kali lagi, dimarahi lagi dan selanjutnya dipukul seratus kali
dan kemudian di asingkannya.[10]
Dari contoh diatas
ternyata penipuan dengan modus pemalsuan ini sudah terjadi pada zaman Nabi SAW
dan sahabat. Seperti hadis Nabi SAW di bawah ini yang melarang adanya unsur
penipuan dalan hal jual-beli.
عن
أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت
أصابعه بللا فقال ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال
أصابته السماء يا رسول الله قال أفلا جعلته فوق الطعام كي
يراه الناس ؟ من غش فليس مني (رواه مسلم)
Artinya : “Dari abu hurairah ra,
berkata : “pada suatu ketika Rasulullah melewati tumpukan makanan {dipasar}”,
lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan itu setelah diangkat kembali,
ternyata jari-jari beliau basah. Lalu beliau bertanya “kenapa begini hai penjual
makanan?”,”jawabannya” kena hujan ya rasulullah “sabda beliau, mengapa tidak
ditaruh di atas (yang basah) supaya dilihat orang ; siapa yang menipu tidak
termasuk golonganku.”
{H.R. Muslim}. [11]
Dari hadis diatas
jelaslah bahwa penipuan itu diharamkan karena penipuan merupakan suatu
kebohongan yang dapat merugikan orang lain maka Islam melarang berbohong dan
menganggapnya sebagai perbuatan dosa besar.
Selain itu ada hadist
yang menerangkan tentang berbuat dusta.
حدثنا
محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبو معاوية ووكيع قالا حدثنا الأعمش ح وحدثنا أبو
كريب حدثنا أبو معاوية حدثنا الأعمش عن شقيق عن عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل
يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى
الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند
الله كذابا (رواه مسلم)
Artinya : “Telah menceritakan Muhammad bin
Abdillah bin Numair telah menceritakan abu Mu’awiah dan Waqi’ keduanya berkata
A’masy dan Abu Kuraib menceritakan kepada kami abu Muawiyah menceritakan kepada
kami, A’masy menceritakan Dari Abdillah ra. Berkata rasulullah bersabda :
“hendaklah kamu berlaku jujur membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan
membawa kesurga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan berusaha
mempertahankan atau mencari kejujuran, maka dia dicatat Allah sebagai “shadiq”
dan hindarilah olehmu dusta karena sesungguhnya dusta itu membimbing kepada
kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta
dan mempertahankan kedustaan maka dia dicatat oleh Allah sebagai “kadzab”
(HR. Muslim)[12]
Di dalam Al-Qur’an juga
diterangkan mengenai perbuatan dusta yaitunya surat AnNisa’
Ayat 145 :
Artinya: “Sesunguhnya orang-orang
munafik itu (diletakkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka”.[13]
Ditinjau dari ruh
syari’at menipu adalah membohongi, berlaku dusta adalah merupakan cirri munafik,
munafik seperti dinyatakan dalam hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari :
عن أبي هريرةأن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف
وإذا اؤتمن خان)
Artinya : “Abi Hurairah mengatakan bahwa Nabi
SAW. Bersabda, “tanda-tanda orang itu ada tiga : yaitu apabila dia berbicara
dia berdusta, apabiladia berjanji dia inkar, apabila dia dipercaya dia khianat.
(HR. Bukhari)[14]
Di dalam hukum Pidana
Islam tidak diatur secara tegas mengenai tidak pidana dalam pendidikan ini,
hanya saja berkenaan dengan penipuan.Dari latar belakang masalah di atas
penulis sangat tertarik untuk menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul TINDAK PIDANA DALAM
PEMALSUAN IJAZAH KAJIAN PASAL 67-71 UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2003 PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM
Rumusan dan Batasan Masalah
Rumusan Masalah
Berdasarkan judul yang
penulis bahas maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah
1.
Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana dalam
pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003?
2.
Bagaimana sanksi terhadap pelaku tindak
pidana mengenai pendidikan dalam
Undang-Undang No 20 tahun 2003 menurut hukum pidana Islam?
Batasan Masalah.
Dari masalah yang telah
diuraikan di atas, maka untuk lebih terarahnya penelitian ini maka penulis
membatasi Pasal 67-71 dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 ditinjau dari Hukum
Pidana Islam.
Penjelasan Judul
Untuk menghindari
kesalahan dalam memahami judul penelitian ini, penulis akan menjelaskan
pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini.
Tindak Pidana :
Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena pelanggaran terhadap
Undang-Undang.[15]
Pendidikan : Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[16]
Undang-Undang : Ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan
Negara yang di buat oleh pemerintah.[17]
Tindak Pidana Islam :
Segala ketentuan
hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban)[18]
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian.
Berdasarkan latar
belakang dan perumusan masalah yang telah penulis uraikan, maka penulisan ini
bertujuan untuk Mengetahui bagaimana
tinjauan hukum Islam terhadap Tindak Pidana dalam Pendidikan pada Pasal 67-71
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
Mengetahui sanksi
tindak pidana dalam Pendidikan menurut hukum pidana Islam.
Kegunaan Penelitian.
Secara teoritis untuk
menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam bidang hukum pidana dan
khususnya hukum pidana Islam.
Secara sisi praktisnya
berguna untuk memberikan manfaat bagi setiap orang yang ingin mengetahui
tentang sistem pendidikan dan sanksi tindak pidana dalam pendidikan dilihat
dari hukum pidana Islam.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang
penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) artinya
penelitian ini dilakukan dengan membaca karya-karya terkait dengan persoalan
yang akan dikaji. Kemudian mencatat bagian yang memuat kajian tentang
penelitian.[19]
Motode Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian
menggunakan pendekatan deskriptif analitis artinya penelitian ini dilakukan
dengan mengambarkan (mendiskripsikan) sebuah fenomena yang terjadi[20]
dan menganalisanya berdasarkan data yang diperoleh oleh penulis maka dalam
penelitian ini penulis akan mengambarkan dua system hukum yang berbeda (hukum
positif dan hukum pidana Islam) kemudian setelah dideskripsikan dan dianalisa
maka penulis akan membandingkan dan mengambil sebuah kesimpualan.
Sumber Data.
Di mana dalam
penelitian pada umumnya untuk menentukan jenis dari pada suatu penelitian itu
dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan
data Primer (dasar) sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya
dinamakan data sekunder.
Di dalam penelitian hukum data sekunder
mencakup.[21]
Bahan primer.
Yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat yang merupakan norma atau kaidah dasar, yaitu Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 sedangkan dalam hukum Islam normanya adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Bahan sekunder.
Yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum Primer, seperti rancangan Undang-Undang,
hasil-hasil karya ilmiyah, buku-buku yang berkenaan dengan penelitian penulis.
Bahan tersier.
Yakni bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
bahan tersier dalam penelitian ini dapat berupa kamus hukum, ensiklopedi hukum.
Teknik Analisis Data.
Dalam mengolah data
yang telah penulis peroleh, maka penulis akan menganalisanya dengan menggunakan
teknik analisis isi (content analysis) yaitu suatu teknik analisis dalam
kajian kepustakaan dengan cara menganalisa terhadap berbagai sumber informasi
termasuk bahan cetak (buku, artikel, koran, majalah, dan lain-lain) dan bahan
non cetak seperti gambar.[22]
Adapun dalam content analysis ini
penulis melakukan dalam lima tahapan:
Menentukan tujuan analisis.
Dalam hal ini penulis
mengidentifikasi tujuan analisisnya dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu
permasalahan yang ada.
Mengumpul data.
Penulis membaca,
mengkaji, dan mencatat data-data yang diambil dari berbagai sumber yang ada.
Mereduksi data.
Penulis mulai melakukan
“sortir” terhadap data yang telah penulis kumpulkan mana yang digunakan
(include) dan mana yang tidak di gunakan (exclude).
Menganalisis dan menafsirkan data.
Pada tahap ini penulis
akan menganalisa data yang ada dan selanjutnya mengambil kesimpulan dari
analisa tersebut.
Kemudian, karena
penulis mengggunakan penelitian yang bersifat komperatif (membandingkan dua
sistem hukum) maka penulis membandingkannya setelah itu penulis mengambil
kesimpulan akhir pada penelitian ini.
Sistematika Penulisan
Untuk terarahnya penulisan
skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan yang memberikan gambaran
pembahasan sebagai berikut :
Bab I berisi tentang pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, penjelasan
judul, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang gambaran umum
tindak pidana pendidikan yang terdiri dari: Pengertian Tindak Pidana
Pendidikan, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pendidikan, Faktor-Faktor Terjadinya Tindak
Pidana Pendidikan, Ketentuan Hukum Positif Tentang Tindak Pidana Pendidikan.
Bab III berisi tentang tindak pidana
pendidikan menurut hukum pidana Islam yang terdiri dari: Bentuk-Bentuk Tindak
Pidana dalam Hukum Pidana Islam, Tindak Pidana Pendidikan dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 Menurut Tinjauan Hukum Pidana Islam, Sanksi Bagi Pelaku
Tindak Pidana Pendidikan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Menurut Tinjauan
Hukum Pidana Islam.
Bab IV berisi kesimpulan yang terdiri
dari kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus, Kejahatan Korporasi,
(Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008)
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Abû Zakariya Yahya ibn Syaraf,
Al-Nawâwiy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),
Barda Nawawi, Arif, Kebijakan
Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2000)
Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahan, (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2001)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi baru, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007)
Rawas Qal’ahji, Muhammad, Ensiklopedi
Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo Persada, 1999)
Mestika Zed, Metode Penelitian
Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih
Al-Bukhariy, ( Beirut : Dar al-Fikr 1981)
Muslim bin Al-Haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy
Al-Naisaburiy Al-Muslim, Shahih Al Muslim Bairut : Dar al-Fikr,)
Irawan, Prasetyo, Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: DIA FISIP UI, 2006)
Redaksi Sinar Grafika, KUHP dan KUHP,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Syahrin Harahap, Penegakan Moral
Akademik di Dalam dan di Luar Kampus, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana
Islam, (Bandung: As-syamil, 2000)
Soekanto, Soerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Prees, 1986)
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang
Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003)
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008)
[1]
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen
Agama RI 2003) h. 5
[2]
Mahrus, Ali, Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008),
h.1
[3]
Barda Nawawi, Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2000), h. 11
[4]
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: As-Syamil, 2000)
h. 75
[5]
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h. 42-45
[6]
Redaksi Sinar Grafika, KUHP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.
90
[7]
Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) h. 80
[8]
Ibid, h. 81
[9]
Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Op.cit, h. 28
[10]
Muhammad Rawas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta:
Manajemen PT Raja Grafindo Persada ,1999), h. 265
[11]
Al-Nawâwiy, Abû Zakariya Yahya ibn Syaraf. Shahîh Muslim bi
Syarh al-Nawâwiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz I, h 99
[12]
Muslim bin Al-Haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy Al-Naisaburiy (Al Muslim), Shahih
Al Muslim Bairut : Dar al-Fikr, t.th, Juz 8, h.29
[13]
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahanya, (Jakarta: CV Samara Mandiri,
1999) h. 147
[14]
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhariy, ( Beirut : Dar
al-Fikr 1981) Juz 20, h. 248
[15]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001) h.
[16]
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan, Op.cit, h.3
[17]
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007) h 66.
[18]
Zainuddin Ali, Op.Cit, h.1
[19]
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007), h. 3
[20]
Prasetyo Irawan, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: DIA
FISIP UI, 2006). H. 52
[21]
Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Prees,
1986)h. 52
[22]
Ibid, h. 60