Membatasi (jumlah) keturunan: adalah  menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai  jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan  bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah  keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang  ditentukan. (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil  Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu  Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).
Membatasi keturunan dengan  tujuan seperti ini dalam agama Islam diharamkan secara mutlak,  sebagaimana keterangan Lajnah daaimah yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul  ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah, (9/62) no (1584)), demikian  juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin (Silsilatu Liqa-aatil  Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan (Al-Muntaqa Min  Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al Fiqhil  Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini  bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang  diterangkan di atas.
Mencegah kehamilan: adalah menggunakan  berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan  dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki di luar  vagina), mengonsumsi obat-obatan (pencegah kehamilan), memasang  penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami istri ketika masa  subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114 –  Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).
Mencegah kehamilan: adalah menggunakan  berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan  dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki di luar  vagina), mengonsumsi obat-obatan (pencegah kehamilan), memasang  penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami istri ketika masa  subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114 –  Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).
Pencegahan kehamilan  seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan  yang (dibenarkan) dalam syariat.
Syaikh Shaleh al-Fauzan  berkata: “Aku tidak menyangka ada seorang ulama ahli fikih pun yang  menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan,  kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, seperti jika  seorang wanita tidak mampu menanggung kehamilan (karena penyakit), dan  (dikhawatirkan) jika dia hamil akan membahayakan kelangsungan hidupnya.  Maka dalam kondisi seperti ini dia (boleh) mengonsumsi obat-obatan  pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan,  karena kehamilan (dikhawatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam  kondisi seperti ini boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan,  karena darurat (terpaksa)… Adapun mengonsumsi obat-obatan pencegah  kehamilan tanpa ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini  tidak boleh (diharamkan), karena kehamilan dan keturunan (adalah perkara  yang) diperintahkan dalam Islam (untuk memperbanyak jumlah kaum  muslimin). Maka jika mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan itu  (bertujuan untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin)  membatasi (jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh  musuh-musuh Islam, maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada  seorang pun dari ulama ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal  ini. Adapun para ahli kedokteran mungkin saja mereka membolehkannya,  karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum syariat Islam (al-Muntaqa min  fatawa al-Fauzan (89/25)).
Mengatur kehamilan seperti ini  -sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh  dilakukan dengan dua syarat:
1). Adanya kebutuhan (yang  dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri sakit (sehingga) tidak  mampu menanggung kehamilan setiap tahun, atau (kondisi) tubuh istri yang  kurus (lemah), atau penyakit-penyakit lain yang membahayakannya jika  dia hamil setiap tahun.
2). Izin dari suami bagi istri (untuk  mengatur kehamilan), karena suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan  (memperbanyak) keturunan (Al Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).
Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah, payah dan  sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah  lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita  hamil dan melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam  fatwa Lajnah Daimah (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)).  Karena semua wanita yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan  payah, Allah berfirman:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ  كُرْهاً
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan  melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs. al-Ahqaaf: 15).
Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil
Setelah  kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan penggunaan obat pencegah  kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang dibenarkan dalam  syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan beberapa hal  berikut:
1) Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti  hamil hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang  dipercaya agamanya, sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini,  karena hukum asalnya adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini  perlu ditekankan karena tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak  di antara mereka yang dengan mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB)  karena ketidakpahaman terhadap hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana  ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas. (Lihat keterangan Syaikh  Muhammad bin Jamil Zainu dalam Khataru Tahdiidin Nasl (8/16)  Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan Majelis al  Majma’ al Fiqhil Islami dalam Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah  (30/286))
2) Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan  kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap  kesehatan (Lihat keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal  Muhimmah (1/160) dan kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil  Mu’aashirah (28/6)).
3- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi  yang ketika memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat  besar (kemaluan dan dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak  melihatnya. Karena aurat besar wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat  oleh suaminya (Lihat Tafsir al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh  al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh  al-’Utsaimiin (10/175)), adapun selain suaminya hanya diperbolehkan  dalam kondisi yang sangat darurat (terpaksa) dan untuk keperluan  pengobatan (Lihat kitab an-Nazhar Fi Ahkamin Nazhar (hal. 176) tulisan  Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab Ahkaamul ‘Auraat  Linnisaa’ (hal. 85
 
Umat Islam mempunyai tiga sumber  pengetahuan untuk mendapatkan jawaban yang berhubungan dengan berbagai  macam aspek kehidupan manusia. Ketiga sumber tersebut adalah:
1. Alqur’an;
2. Hadits dan Sunnah Nabi Muhammad SAW; dan
3. Pandangan paran ahli dalam penerjemahan ajaran Islam
1. 1. Al Qur’an
Tidak ada ayat Qur’an yang melarang tentang  keluarga berencana. Namun, beberapa ayat Qur’an melarang infanticide  (pembunuhan terhadap bayi) dan ayat inilah yang digunakan oleh beberapa  muslim sebagai alasan untuk melarang kontrasepsi.
Namun,  kontrasepsi tersebut tidak bermaksud untuk membunuh manusia. Ayat-ayat  tersebut, faktanya, diturunkan untuk melarang bangsa Arab zaman  jahilliyah untuk tidak membunuh atau mengubur hidup-hidup bayi yang baru  lahir (terutama bayi perempuan) dikarenakan faktor kemiskinan  orangtuanya atau ketidak inginan orangtuanya untuk memiliki bayi  perempuan. Mungkin dalam masa itu masih belum adanya pengetahuan tentang  cara aman kontrasepsi dan aborsi dini (dengan indikasi medis).
1. 2. Hadits dan Sunnah Nabi Muhammad S.A.W.
Prinsip pencegahan konsepsi telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yang  mengizinkan para umatnya untuk melakukan ‘azl atau dalam medis lebih  dikenal dengan nama sanggama terputus (coitus interruptus). Hadits ini  menguatkan kehalalan kontrasepsi dalam Islam dan sekaligus menjadi dasar  perbedaan pendapat terhadap pemikiran Islam tentang KB. Ada beberapa  sumber yang hadis yang berhubungan dengan kontrasepsi. Hadits yang  paling sering dipakai adalah: (10)
1. Menurut Jabir, “Kami  menggunakan ‘azl pada masa Nabi Muhammad SAW saat Al-Qur’an sedang  diturunkan”. Ada versi lain yang dari hadits yang sama, “Kami  menggunakan ‘azl pada masa Nabi Muhammad. Berita ini telah sampai  kepadanya dan beliau tidak melarang kami”.
2. Menurut Jabir,  “Seorang datang menghadap Rasulullah dan berkata, ‘Aku mempunyai budak  wanita, dan kami membutuhkannya sebagai pembantu kebun palem. Aku  berhubungan (seks) dengannya, namun aku takut jika ia akan hamil.’ Nabi  menjawab, ’Lakukan ‘azl jika engkau menginginkannya, agar ia mendapatkan  apa yang ditakdirkan padanya.’”
3. Menurut Abu Sa’id, “Kami  berkuda dengan Rasulullah untuk menyerang Banu Al-Mustaliq dan menahan  beberapa tawanan wanita…kami berhasrat terhadap mereka dan kami sulit  untuk menjalankan pantangan. (Tapi) kami ingin melakukan ‘azl, dan kami  bertanya kepada Rasulullah. Beliau bersabda, “Engkau tidak perlu ragu,  Allah mentakdirkan apa saja yang akan diciptakan-Nya sampai hari  kiamat.”
4. Menurut Abu Sa’id, “Kaum Yahudi berakata bahwa ‘azl  sama dengan membunuh bayi baru lahir, dan Rasulullah menjawab, ‘Para  Yahudi itu berbohong, jika Allah akan menciptakan sesuatu, maka tidak  ada satupun yang bisa menghalangi kehendak-Nya (atau  mempengaruhi-Nya).’”
5. Menurut ‘Umar bin Khatab, “Rasulullah  melarang untuk melakukan ‘azl kepada wanita bebas kecuali tanpa izin  darinya.”
6. Menurut Anas, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah  tentang ‘azl dan Beliau menjawab, ‘Bahkan jika engkau menumpahkan  setetes mani pada batu agar terlahir seorang anak, Allah akan  menciptakan anak yang terlahir dari batu itu.’”
7. Menurut  Judhamah binti Wahab, “Aku berada disana ketika Rasulullah sedang dalam  sebuah perkumpulan dan berkata, ‘Aku baru saja akan melarang tentang  ghila (hubungan seks ketika sedang dalam masa menyusui) namun Aku  memperhatikan kaum Romawi dan Persia, dan Aku melihat mereka  melakukannya, dan anak-anak mereka tidak dirugikan.’ Mereka bertanya  tentang ‘azl dan Rasulullah menjawab, ‘Itu adalah pembunuhan bayi secara  tersembunyi…’”
Hadits-hadits di atas menggambarkan dua maksud:  Pertama, Rasulullah mengetahui tentang ‘azl dan tidak melarangnya  (nomor 1), dan yang kedua, Rasulullah sendiri yang mengizinkan ‘azl  (nomor 2 dan 3).
Hadits dari Judhamah (nomor 7) merupakan  perkiraan dari tradisi pembunuhan dari kaum Yahudi dan Nasrani. Hadits  tersebut menguatkan pandangan Ibn Hazm bahwa ‘azl dilarang oleh  Rasulullah. Namun, para ahli hukum Islam abad pertengahan menggunakan  hadits tentang Yahudi (nomor 4) untuk menyangkal argumen tentang  larangan ‘azl. Mereka mengklaim bahwa Rasulullah mempertahankan  kebohongan kaum Yahudi yang menyamakan ‘azl dengan pembunuhan terhadap  bayi baru lahir dan Rasulullah menetapkan sabdanya tersebut untuk  dirinya sendiri. (11)
1. 3. Pandangan paran ahli  dalam penerjemahan ajaran Islam
Para ahli hukum Islam mempunyai  pandangan yang berbeda-beda tentang pencegahan kelahiran berdasarkan  keadaan-keadaan tertentu dan metode yang aman untuk melakukan pencegahan  kelahiran. Para ahli hukum memutuskan aturan penggunaan kontrasepsi  berdasarkan empat prinsip atau sumber (usul). Dua diantaranya adalah  (Qur’an dan Sunnah) berasal dari sumber Islam. Dua prinsip lainnya  adalah merupakan pemikiran analogis (qiyas) dan konsensus para ulama  (ijma’).
Analisis yang paling detail tentang pandangan Islam  terhadap kontrasepsi telah dibuat oleh pimpinan Sekolah Jurnalis  Shafi’I, al-Ghazzali (1058-1111). Dia membahas isu tersebut dalam  tulisannya, Ihya’ ‘ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama),  pada bab ilmu biologi dalam agama.
Al-Ghazzali menyatakan bahwa  tidak ada dasar pelarangan ‘azl. Jika ingin melarang suatu tindakan  dalam Islam, satu-satunya cara adalah dengan mengemukakan teks asli  (nass, ketetapan eksplisit pada Alqur’an atau hadits) atau dengan  analogi dari teks tersebut. Pada kasus kontrasepsi, tidak ada teks yang  berhubungan dengan pelarangannya, atau prinsip-prinsip yang mendasari  pelarangan tersebut.
Dalam pandangannya, coitus inturruptus  mempunyai hukum mubah dan hukum ini dibuat berdasarkan qiyas. Seorang  pria dapat tidak menikah, namun tidak akan bisa berpantang dari kawin  atau berhubungan seksual, tetapi seorang pria dapat melakukan ejakulasi  di luar vagina (‘azl). Meskipun akan lebih baik jika menikah, melakukan  hubungan suami-istri, dan ejakulasi didalam vagina, jika berpantang dari  hal tersebut tidaklah dilarang ataupun berlawanan dengan hukum Islam.  (12)
Al-Ghazzali membuat perbedaan antara infanticide dan  kontrasepsi. Al-Ghazzali mengatakan seorang anak tidak selalu tercipta  oleh pengeluaran cairan sperma, namun bisa juga dengan pengendapan semen  (cairan yang membawa sperma) pada rahim wanita. Jadi, kontrasepsi tidak  bisa dibandingkan dengan infanticide, yang merupakan pembunuhan  terhadap makhluk hidup, sedangkan kontrasepsi tidak dimaksudkan untuk  membunuh.
Pada proses kontrasepsi, pengeluaran hasil reproduksi  pria dan wanita dianalogikan sebagai dua unsur, menawarkan (ijab) dan  penerimaan (qabul) yang merupakan bagian dari sahnya suatu perjanjian  dalam hukum Islam. Seseorang yang membuat suatu perjanjian lalu  membatalkannya sebelum pihak yang diajak mengadakan kontrak menerimanya,  maka hal itu tidak melanggar hukum, karena sebuah perjanjian tidak akan  tercipta sebelum adanya persetujuan. Cara yang sama diterapkan oleh  Al-Ghazzali, tidak ada bedanya antara pengeluaran hasil reproduksi pria  atau retensi dari semen, kecuali jika hasil reproduksia pria tersebut  bercampur dengan hasil reproduksi wanita.
Al-Ghazzali  mengklasifikasikan opini dari masa lalu dengan masa sekarang menjadi  tiga buah:
1. Melakukan ‘azl tanpa syarat;
2.  Melakukan ‘azl jika diizinkan oleh istri, namun diharamkan jika tidak  diizinkan oleh istri. Hal ini merupakan pandangan dari kelompok Hambali  dan Maliki dari lulusan sarjana Zaydiyah dan ‘Ibadites, orang-orang yang  selamat dari sekte Kharijite. Menurut beberapa sarjana Hanafi, kondisi  ini menjadi mustahil jika suami meyakinkan bahwa anak yang akan lahir  akan tumbuh dalam lingkungan moral yang kurang sehat.
3.  Diharamkan melakukan ‘azl, menurut penilaian Ibnu Hazm dan pengikutnya  di Sekolah Zahiriyah. (13)
Al-Ghazzali dapat menerima alasan  melakukan kontrasepsi jika mempunyai alasan seperti: (1) keinginan untuk  menjaga kecantikan dan kesehatan istrinya, atau menyelamatkan hidupnya;  (2) keinginan untuk menghindari kesulitan ekonomi dan aib; (3)  mengikuti aturan negara karena adanya ledakan penduduk. Al-Ghazzali  tidak menerima alasan melakukan kontrasepsi yang dikarenakan jika yang  lahir adalah bayi perempuan.
Sarjana terkenal lain, Ibnu  Taymiyah, pada awal abad keempat belas juga membahas tentang  kontrasepsi. Ibnu Taymiyah menyatakan, “Allah menciptakan anak-anak  manusia dan hewan dalam rahim dengan kerelaan orangtuannya melakukan  persenggamaan, dan pertemuan kedua hasil reproduksi di dalam rahim.  Seorang yang bodoh mengatakan, ‘Aku akan bergantung kepada Tuhan dan aku  tidak akan mendekati istriku dan jika Allah menghendaki agar aku  mempunyai anak, maka akan terciptalah anak itu, jika tidak terciptanya  anak itu, maka aku tidak perlu menggaulinya.’ Sangatlah berbeda antara  melakukan hubungan intim dengan melakukan ‘azl, karena ‘azl tidak  mencegah kehamilan jika Allah menghendaki adanya kehamilan, akibat  adanya pre-emisi (pengeluaran dini) dari semen yang bersifat secara  tidak sadar (involunter).” (14)
Pada masa awal kesarjanaan  Muslim, hanya satu ahli hukum yang menolak ‘azl. Dia adalah orang  Spanyol yang bernama Ibnu Hazm (994-1063), lulusan Sekolah Jurnalis  Zahiriyah. Ibnu Hazm berargumen bahwa hadits-hadits yang mengizinkan  ‘azl datang pada masa-masa yang lebih awal dan mencerminkan sebuah fakta  bahwa Islam memperbolehkan seluruh hukum sampai Nabi Muhammad SAW  melarang beberapa diantaranya. Argumen Ibnu Hazm ini didasari oleh  hadits yang dikutip dari Judhamah binti Wahab. (15)
Ibnu Hazm  menyatakan bahwa Rasulullah mencabut hadits-hadtis yang mengizinkan ‘azl  ketika beliau bersabda bahwa ‘azl adalah ‘pembunuhan bayi secara  tersembunyi’. Karena Qur’an sangat melarang pembunuhan terhadap bayi,  dan Rasulullah menyebut coitus interruptus sebagai pembunuhan bayi  secara tersembunyi, maka Ibnu Hazm menyatakan bahwa ‘azl juga dilarang.
Pendapat Ibnu Hazm akhirnya dilawan oleh ahli-ahli hukum pada masa  selanjutnya. Pendapat yang paling terkemuka adalah dari sarjana  Hambali, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (1291-1351), yang mengizinkan ‘azl  pada tulisannya, Zad al-Ma’ad. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa pendapat  yang dikeluarkan oleh Ibnu Hazm memerlukan sumber waktu (tanggal dan  tahun) bahwa saat Rasulullah mencabut hukum bolehnya melakukan ‘azl  terjadi setelah adanya hadits yang memperbolehkan ‘azl, sedangkan untuk  menemukan waktu tersebut sangatlah mustahil. (16) Ibnu Qayyim  menambahkan bahwa pembunuhan terhadap bayi menurut hukum Islam adalah  ketika saat janin telah terbentuk dan ketika saat bayi telah lahir,  sehingga infanticide dilarang hukumnya, sedangkan ‘azl adalah hal yang  berbeda.
Beberapa sahabat pada masa Nabi Muhammad, seperti Ibnu  Majah dan Ahmad, setuju bahwa ‘azl diperbolehkan oleh Rasulullah. (17)
Secara singkat, tinjauan diatas menyatakan bahwa pengikut-pengikut  Nabi Muhammad melakukan ‘azl dengan sepengetahuan Rasulullah dan  Rasulullah sendiri tidak melarangnya.
Majallah Majma al-Fiqh  al-Islaami
Pembahasan tentang keluarga berencana telah dibahas  secara detail oleh Majma al-Fiqih al-Islami Mereka mempunyai 23 sarjana  untuk membahas topik ini dan menyampaikan apa yang telah mereka teliti.  Sarjana-sarjana tersebut berasal dari sekolah-sekolah yang berbeda,  begitu pula cara berpikirnya. Diantara sarjana-sarjana tersebut adalah  Muhammad Ali al-Baar, Ali al-Saaloos, Muhammad Saed Ramadhan al-Booti,  Abdullah al-Basaam, Hasan Hathoot, dan Muhammad Sayid Tantaawi. Hasil  diskusi dan karya tulis mereka dapat ditemukan di Majallah Majma al-Fiqh  al-Islaami Bab satu Volume ke-5 (1988/1409 M) yang terdiri dari 748  halaman. Pembahasan yang akan dibahas berikut merupakan poin-poin  penting yang berhubungan dengan keluarga berencana dalam Islam.
Makna pernikahan dan keinginan untuk mempunyai anak adalah suatu  keinginan yang dimiliki oleh seluruh manusia yang diciptakan oleh Allah  dan disampaikan oleh Rasulullah dan orang-orang yang diberi petunjuk  oleh-Nya. Allah berfirman:
“Dan sungguh kami sudah mengutus  beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka  istri-istri dan keturunan. Tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan  sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa  ada kitab (tertentu).” (Ar-Raad: 38)
Contoh yang  terbaik yang dapat diikuti oleh orang-orang yang beriman adalah contoh  yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yang menikah dan mempunyai  anak. Allah berfirman:
“Mereka itulah (para nabi) yang telah  diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilan petunjuk mereka.” (Al-An’am:  90)
Islam telah melarang perjakaan dan cara hidup seperti  biarawati karena beberapa hal. Rasulullah memperjelas hal ini ketika  beliau bersabda kepada para pengikutnya: “Aku menunaikan shalat dan Aku  tidur; Aku berpuasa dan Aku berbuka; dan Aku menikahi wanita. Siapapun  yang mengikuti selain dari itu adalah bukan contoh hidupku.” Rasulullah  SAW tidak hanya menganjurkan untuk menikah, tapi beliau juga  menganjurkan untuk menikahi wanita yang subur. Dalam riwayat Beliau yang  lain: “Nikahilah orang yang penyayang, wanita yang subur maka aku akan  mempunyai umat yang banyak saat hari kiamat nanti.” (Riwayat Ahmad dan  Ibnu Hibban).
Dari sudut pandang Islam, anak adalah pemberian  dan berkah dari Allah. Allah menyebutkan beberapa rahmat bahwa Dia telah  menganugerahkan umat manusia dalam ayat berikut:
“Dan Allah  menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri  dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu  rezeki dari yang baik.” (An-Nahl: 72).
Allah juga berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi  amal-amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di  sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46).
Allah adalah satu-satunya Yang Maha Memberikan manusia segala hal.  Jika umat muslim mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Allah,  Allah akan menyediakan apapun untuknya. Allah telah memperingatkan  manusia tentang pembunuhan anak yang dikarenakan masalah ekonomi. Allah  berfirman:
“… dan janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.  Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka…” (Al-An’am:  151)
Allah juga berfirman di ayat-Nya yang lain:
“Dan  janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang  membei rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu merupakan  suatu dosa yang besar.” (Al-Isra’: 31).
Oleh karena  itu, umat Muslim tidak boleh menggugurkan atau membunuh anak-anaknya  karena takut miskin, karena itu ialah pemberian dari Allah.
Berdasarkan ayat Qur’an dan hadits di atas dan beberapa sumber lain,  sarjana-sarjana yang berpartisipasi untuk meneliti pertanyaan-pertanyaan  tentang keluarga berencana, telah membuat kesimpulan:
*  Tidak diizinkan membuat undang-undang yang membatasi pasangan  suami-istri untuk mempunyai keturunan.
* Telah dilarang untuk  melakukan pengakhiran (dengan cara apapun yang disengaja) atas kemampuan  suami atau istri untuk melakukan reproduksi, seperti melakukan  histerektomi atau vasektomi, selama tidak diikuti oleh indikasi medis.
* Diperbolehkan untuk mengatur jarak kelahiran atau menunda  kehamilan pada jarak waktu tertentu, jika terdapat syariat untuk  melakukan hal tersebut, berdasarkan perundingan dan kesepakatan  suami-istri tersebut. Bagaimanapun juga, hal ini dilakukan tanpa ada  maksud di luar syariah.
Keluarga Berencana sebagai Perencanaan  Keluarga
Ilmu kedokteran telah banyak menemukan cara tentang  ‘azl sesuai dengan dispensasi dari Rasulullah, antara lain: kondom, IUD  (Intra Uterine Device) atau lebih dikenal di Indonesia dengan AKDR (Alat  Kontrasepsi Dalam Rahim), pil yang diminum wanita sebelum bersetubuh  dan lain-lain, dan yang terakhir adalah pil anti hamil yang dapat  membunuh, atau menghalangi terjadi pembuahan. Dosen ekonomi Islam Jamiah  al Azhar (salah satu universitas di Mesir), Dr. Muhammad Syauqi Al  Fanjari, berpendapat tentang keluarga berencana, yaitu :
“Sesungguhnya inti dasar problematika yang terjadi bukanlah terletak  pada kurang atau tambahnya pertimbangan penduduk, akan tetapi terletak  pada ada dan tidaknya keselarasan antara kemungkinan ekonomi dengan  jumlah penduduk. Prospek penduduk yang ada di masyarakat Mesir  umpamanya, berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Oleh karena itu  problem solving yang harus diterapkan pada masa yang akan datang adalah  “pengaturan kelahiran” sebagaimana yang diterangkan Rasulullah SAW,  yaitu ‘Aku berlindung kepada Allah dari juhdil bala’’. Ditanyakan:  ‘Apakah juhdil bala’ itu wahai Rasulullah?’ Jawabnya: ‘Banyaknya  keluarga dengan sedikitnya ekonomi.’”
Ibnu Abbas  mengatakan bahwa banyaknya anggota keluarga merupakan salah satu di  antara dua kemudahan. Akan tetapi permasalahan yang terjadi di Mesir  tidak sama dengan yang terjadi di negara lain, seperti Irak, Arab Saudi,  Kuwait di mana jumlah penduduknya lebih sedikit dari GNP (Gross  National Product) dan luas negaranya. Maka pemecahan masalah yang  diterapkan adalah mendorong lajunya pertumbuhan penduduk.
Badan  Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Unit Keluarga Berencana  Departemen Agama mempunyai pendapat tentang perencanaan keluarga dalam  Islam. Pendapat tersebut akan dijelaskan dibawah ini: (18)
1. Janganlah meninggalkan keturunan yang lemah
“Dan  hendaknya takut pada Allah orang-orang yang seandainya, meninggalkan  orang dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir  terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka  mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’: 9)
Dalam hadits  Nabi:
“Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu  dalam keadaan kecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban  tanggungan orang banyak.” (Muttafaqun alaihi)
Ditinjau dari  sebab turunnya ayat tersebut ialah berkaitan dengan pembagian warisan,  atau kedua ayat tersebut memberi keyakinan pada kita bahwa Allah  memerintahkan kesejahteraan anak keturunan kita. Maka tidak dapat  dibenarkan oleh Islam jika kita bersikap masa bodoh terhadap  kesejahteraan dan masa depan anak cucu. Kita tidak ragu dengan Kemaha  Murahan Allah, tapi tidak boleh berpangku tangan. Kalau kita mau makan  tidak cukup hanya dengan berdoa saja tapi juga harus berusaha. Demikian  juga jika kita ingin meninggalkan anak keturunan dalam kecukupan.
1. Penyediaan rezeki
Memang setiap makluk yang  melata di bumi akan mendapat rezki dari Allah, tapi Ibu Bapak wajib  berfikir seandainya aku mati sekarang apa yang akan dimakan anakku esok.  Hadist diatas tegas mengingatkan bahwa kita jangan menggantungkan nasib  anak keturunan kita pada orang lain.
1.  Kewajiban mendidik
Sabda Nabi Muhammad SAW:
“Wahai  para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban  keluarga hendaklah menikah, sebab dengan menikah itu akan lebih dapat  menundukkan pandangan dan akan lebih dapat mampu menjaga kehormatan.  Barang siapa benar-benar belum mampu hendaklah berpuasa, sesungguhnya  berpuasa itu akan menjadi benteng yang menjaga (dari perbuatan buruk).
1. Bukan banyak anak yang lemah, tetapi keturunan  kuat yang cerdas
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami  istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari  pasanganmu, serta memberi rezki dari yang baik. Mengapa mereka beriman  kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah” (An-Nahl:72)
“Menikahlah dan mempunyai anak cucu, maka sesungguhnya aku (Nabi) akan  membanggakan kamu pada umat-umat lain pada hari kiamat nanti.” (Riwayat  Ahmad dan Ibnu Hibban)
Yang harus kita pertanyakan, apakah umat  yang Beliau banggakan adalah umat yang jumlah manusianya banyak tetapi  terdiri dari generasi yang berbadan lemah, tiada yang mempunyai  kemampuan dan inisiatif? Atau umat yang menjadi kebanggaan Nabi itu  bukanlah disangkutkan kepada jumlahnya yang banyak, melainkan kepada  mutu dan kualitasnya yaitu umat yang kuat dan cerdas, yang kecakapan dan  keahliannya, keimanan dan ibadahnya, kepada Allah jauh melebihi dari  pada umat-umat yang mendahuluinya.
1. Mewariskan  umat yang bermutu
“Kawinilah perempuan yang penyayang dan  bakatnya beranak. Sesungguhnya di hari kiamat nanti aku (Nabi) akan  merasa bangga dengan banyaknya umat pengikutku (yang bermutu).” (Riwayat  Ahmad & Ibnu Hibban)
Hadist ini harus diartikan bahwa Nabi  menghendaki agar pengikut Muhammad atau umat Islam yang banyak  jumlahnya haruslah bermutu. Tidak ada gunanya seseorang banyak anak jika  tidak mampu memberi bimbingan dan santunan supaya mereka menjadi  pengikut Nabi Muhammad menjadi muslim yang baik. Maka dalam usaha agar  setiap anak yang lahir dari orang muslim yang baik, orang tua perlu  menjaga keseimbangan antara kemampuan dan beban mendidik serta memberi  nafkah pada anak.
1. Tanzhimun Nasl, bukan  Tahdidun Nasl.
Itulah sebabnya sebagian besar ulama besar Islam  membenarkan dilakukannya tanzhimun nasl atau perencanaan keluarga,  bukan tahdidun nasl atau pembatasan keturunan.
Perencanaan  keluarga itu lebih diperlukan lagi dalam keadaan-keadaan tertentu,  misalnya kelemahan kesehatan sang ibu, kerawanan pendidikan anak  (artinya kekhawatiran tidak terselenggaranya pendidikan yang baik untuk  masing-masing anak).
“Disanalah Zakaria berdoa pada  Tuhannya: Ya Tuhanku berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu,  sesunggunya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali Imran: 38).
Perencanaan keluarga dianjurkan bukan untuk tidak punya anak, tetapi  untuk mejadikan anak-anak yang ada menjadi anak yang shaleh, beriman,  berilmu dan bertaqwa.
(dikutif dari : faisal murbahasal)