PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM


I.            PENDAHULUAN
Masalah hubungan penjahat – korban bukanlah masalah yang baru; hanya saja, selama berabad-abad merupakan salah satu subjek yang paling diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Si korban tidaklah hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mengerti masalah kejahatan, delikuensi, dan deviasi.[1]
Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari si penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan si korban. Dengan demikian dapat dikatakan si korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.[2]
Bila kita tak dapat menerima kriminologi yang hanya memusatkan perhatian pada si penjahat dan kejahatannya, maka konsekuensinya adalah juga menolak akan adanya viktimologi yang hanya memusatkan perhatian pada si korban dalam hal usaha yang berdiri sendiri yang mempunyai kecenderungan pemusatan perhatian pada si korban dan perbuatannya yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana.[3]
Dalam perspektif historis dapat dikatakan, bahwa usia kejahatan itu sama dengan usia sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini. Sejak Qabil, putera Nabi Adam AS dan Hawa membunuh adiknya bernama Habil karena perasaan dendam, dengki dan kecemburuan, maka saat itulah sejarah mulai mencatat mengenai suatu peristiwa kriminal (kejahatan) yang terjadi antar sesama manusia.[4]
Salah satu persoalan yang mendorong Qabil membunuh adiknya ini adalah terkait dengan masalah wanita (perempuan). Artinya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan sudah setua sejarah kehidupan manusia itu sendiri.[5]
Di antara manusia Indonesia yang rawan menjadi korban kejahatan kekerasan adalah kaum perempuan. Perempuan sangat rentan menjadi korban kejahatan (victim of crime) di bidang kesusilaan.[6]
Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bahkan bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di lingkungan perusahaan, perkantoran atau di tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.[7]
Gerakan feminisme akhir-akhir ini merambah dan menggugat wilayah hukum positif, yang menurutnya, aspek pelaksanaannya belum mencerminkan, mewakili, memberikan jawaban, dan meresponsi keadilan penderita (korban perkosaan) atau masih lebih sering berpihak pada kepentingan kaum laki-laki, dan belum menempatkan asas kesamaan hukum (equality before the law) sebagai suatu kekuatan moral-yuridis, sosial dan psikologis guna melindungi hak-hak kaum perempuan. Kelompok feminis itu berasumsi kalau kaum perempuan di mata hukum masih menjadi kelompok marjinal atau berposisi sebagai pihak yang dikorbankan oleh praktek hukum di Indonesia.[8]
Sebenarnya baik secara implisit maupun eksplisit, kehadiran hukum Islam dapat menjadi suatu alternatif istimewa untuk memecahkan problem yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk diantaranya menjawab problem kejahatan yang terjadi dan makin memprihatinkan itu.[9]
Misalnya pada aspek hukum keluarga, eksistensi penerapan hukum Islam terasa dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat. Dengan diadopsinya sejumlah ketentuan dalam hukum Islam yang mengatur mengenai perkawinan, waris, hibah, wakaf, dan lainnya, maka berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam dapat diselesaikan.[10]
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka di samping untuk menambah wawasan di bidang kriminologi, masalah dalam tulisan ini adalah :
A.    bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kekerasan seksual dalam tinjauan hukum pidana Indonesia?
B.     bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kekerasan seksual dalam tinjauan hukum pidana Islam?

II.            PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kejahatan, Kekerasan terhadap Perempuan, Hak Asasi Manusia, Hukum Pidana, dan Hukum Pidana Islam
A. Qirom Syamsudin dan E. Sumaryono memberikan penjelasan mengenai pengertian kejahatan sebagai berikut :[11]
1.      Segi sosiologis, yaitu kejahatan yang ditekankan pada ciri-ciri khas yang dapat dirasakan dan diketahui oleh masyarakat tertentu. Masalahnya terletak pada perbuatan immoril yang dipandang secara objektif, yaitu jika dari sudut masyarakat di mana masyarakat dirugikan;
2.      Segi yuridis, yaitu kejahatan yang dinyatakan secara formil dan hukum pidana. Jadi adalah semua perbuatan manusia yang memenuhi perumusan ketentuan hukum pidana secara definitif dinyatakan sebagai perbuatan kejahatan;
3.      Segi psikologis, yaitu kejahatan merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Dalam ajaran Islam juga digariskan, bahwa ada berbagai macam bentuk perbuatan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan. Suatu bentuk perbuatan yang disengaja atau direncanakan (bukan karena kealpaan/kelalaian) yang mengakibatkan kerugian bagi sesama manusia juga dapat disebut kejahatan.[12]
Pada Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.[13]
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) seperti yang dikemukakan oleh Jan materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB ialah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.[14]
Adapun pengertian pidana sendiri adalah : “Criminal Law”, merupakan sebutan lain dari hukum pidana. Istilah ini sinonim dengan “Strafbarfeit”. Hukum pidana adalah termasuk hukum publik yang mengancam perbuatan yang melanggar hukum (tindak pidana) dengan pidana/hukuman.[15]
Sedangkan berkaitan dengan pengertian hukum pidana Islam, Ibrahim Hosen berpendapat, “untuk menjamin, melindungi dan menjaga kemaslahatan-kemaslahatan tersebut, Islam menetapkan sejumlah aturan, baik berupa perintah atau larangan. Dalam hal-hal tertentu, aturan itu disertai ancaman hukuman duniawi (di samping tentu hukum ukhrowi) manakala dilanggar. Perangkat aturan itu disebut hukum pidana Islam (fiqh-ul-jinayati At-Tasyri’ul-jina’i). Pendapat Ibrahim Hosen ini menempatkan (menyamakan) istilah hukum pidana Islam dengan “Fiqih jinayat”.[16]

B.  Perlindungan terhadap Korban Kejahatan Kekerasan Seksual dalam Tinjauan Hukum Pidana Indonesia
1.   Berdasarkan KUHP
            KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289.
Pasal 285 KUHP berbunyi :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk adanya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh adalah :
a.       barang siapa;
b.      dengan kekerasan, atau
c.       dengan ancaman kekerasan;
d.      memaksa,
e.       seorang wanita diluar perkawinan;
f.       bersetubuh.
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara. Hal ini adalah hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukuman yang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan kebijaksanaan hakim.
Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan. Apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannya unsur “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan dengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsur kesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecenderungan semi terencana dalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat seperti ini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana.



Pertama, tentang unsur “barang siapa”.
Jika kita simak Pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” atau subjek tindak pidana adalah “orang” atau “manusia”.
Kedua, unsur “dengan Kekerasan”.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai dan sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya.
Ketiga, unsur “ancaman kekerasan”.
Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.
Dalam hal perkosaan dilakukan dengan ancaman, hakim tidak perlu memastikan apakah terdakwa benar-benar akan melaksanakan ancamannya tersebut atau tidak.
Keempat, unsur “memaksa”.
Unsur memaksa dalam perkosaan menunjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban. Pelaku mau/ingin bersetubuh sementara korban tidak mau/ingin, pelaku ingin berbuat cabul sementara korban tidak mau/ingin. Karenanya tidak ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Kelima, unsur “seorang wanita diluar perkawinan”.
Dari adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa :
a.       perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita;
b.      tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki, atau wanita terhadap wanita;
Dalam hal terjadi pemaksaan nafsu wanita terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki, atau wanita terhadap wanita maka yang terjadi adalah tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 289 KUHP.
c.       tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap isteri yang kita kenal dengan maritaal rape (perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya).
Keenam, unsur “bersetubuh”.
Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh, maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh mana kala tidak terjadi persetubuhan. Persetubuhan, yakni masuknya penis laki-laki ke dalam kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya. Tanpa kejadian demikian, maka tidak bisa dikatakan bahwa hal itu terjadi suatu perkosaan bermakna persetubuhan.
Penafsiran mengenai berbagai macam kekerasan seksual terhadap perempuan, bagaimanapun harus dikaitkan dengan tingkat dinamika dan kebermacaman tindak kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat atau yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kekerasan seksual (perkosaan). Ada kekerasan yang masih dalam bentuk konvensional, namun ada yang ditempuh dengan cara-cara yang modern dan sistematik.
Idealnya, tafsir atau interpretasi yuridis terhadap nasib korban kejahatan kekerasan seksual itu tidak boleh diabaikan dan dikalahkan oleh tafsir yuridis yang dicondongkan untuk membela hak-hak asasi manusia pelakunya, sementara untuk hal yang mendukung kepentingan korban kejahatan tidak mendapatkan prioritasnya.

2.   Berdasarkan Konsep KUHP
            konsep KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatan kesusilaan dengan pelanggaran kesusilaan. Konsep KUHP mengelompokkan tindak pidana kesusilaan menjadi satu dengan judul “Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan”.
Perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral semata-mata (moral offence). Didalamnya juga mencakup masalah anger and violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak wanita.
Oleh sebab itu pengertian perkosaan (modern) tidak lagi difokuskan pada pemaksaan dan hubungan seksual tapi diperluas sehingga mencakup beberapa hal, yaitu :[17]
a.       forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengan kehendak wanita yang disetubuhi;
b.      persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidak sadar);
c.       persetubuhan dengan persetujuan wanita, tapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;
d.      rape by fraud, persetubuhan yang terjadi karena wanita percaya bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini ada unsur penipuan atau penyesatan;
e.       statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia di bawah empat belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka.
Tindak pidana perkosaan dalam konsep KUHP diatur dalam Pasal 39 yang menyebutkan bahwa :
“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun dan paling rendah tiga tahun karena melakukan tindak pidana perkosaan :
ke-1 seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
ke-2 seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
ke-3 seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
ke-4 seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia adalah orang yang seharusnya disetujuinya;
ke-5 seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah empat belas tahun, dengan persetujuannya;
(2)   Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun dan paling rendah tiga tahun, apabila dalam keadaan yang tersebut dalam ayat (1) ke-1 sampai dengan ke-5 di atas :
ke-1 seorang laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut seorang perempuan;
ke-2 barang siapa memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan”.

            Beberapa hal yang membedakan konsep tindak pidana perkosaan menurut konsep KUHP dengan KUHP yaitu :
a.       Bahwa untuk adanya tindak pidana perkosaan tidak harus ada kekerasan, yang harus ada adalah adanya pertentangan kehendak (Pasal 389 ayat (1) ke-1);
b.      Tindak pidana perkosaan bisa juga terjadi dalam bentuk persetujuan persetubuhan dalam hal korban/wanitanya berusia di bawah empat belas tahun (Pasal 389 ayat (1) ke-5);
c.       Tindak pidana perkosaan (persetubuhan) tidak hanya berarti masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan tapi juga bisa berarti masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam anus atau mulutnya perempuan;
d.      Dan juga bisa berarti memasukkan suatu benda-benda seperti alat elektronik berbentuk kemaluan laki-laki atau alat-alat lainnya (bukan hanya alat kelamin) ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.
Konsep itu merupakan langkah maju dibandingkan keberadaan rumusan dalam pasal-pasal KUHP yang lama yang cenderung tidak bisa mengakomodasi perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang modus operandinya kasar, keji, vulgar dan sangat menjatuhkan martabat kemanusiaan dipersamakan dengan kejahatan kesusilaan pada umumnya.

C.    Perlindungan terhadap Korban Kejahatan Kekerasan Seksual dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam
1.      Aspek Hukum Pidana Materiil
Aspek hukum pidana materiil ini menyangkut soal suatu perbuatan yang berdasarkan syari’at telah ditetapkan (digariskan) sebagai suatu tindak pidana. Pembuat hukum, dalam hal ini Allah SWT telah menggariskan berbagai jenis perbuatan (kejahatan) dikategorikan sebagai tindak pidana, seperti pencurian, penganiayaan, makar, pembunuhan, dan perkosaan (kekerasan seksual).
Pijakan atas larangan melakukan perzinahan adalah Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
           
Larangan dalam ayat ini menunjukkan suatu peringatan yang keras. Peringatan ini berkaitan dengan keharaman berbuat zina. Sebelum sampai pada jenis perbuatan yang sebenarnya (zina), Allah SWT sudah melarangnya. Baru pada tahap hendak “berdekatan” dengan perbuatan tersebut, atau berhubungan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menjebak seseorang ke dalam perbuatan keji itu, Allah SWT sudah melarangnya dengan keras.
Para pakar berpendapat mengenai pengertian zina sebagai suatu perbuatan (hubungan seks) yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan secara tidak sah (di luar ikatan perkawinan). Perkawinan yang sah menjadi suatu pijakan diperbolehkannya seseorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seks.
Pendapat seperti itu berpijak pada firman Allah SWT berikut :
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Mukminuun : 5-7).

Dari pendapat para pakar hukum Islam dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa konsepsi perzinahan itu harus mengandung unsur-unsur :
a.       terjadi hubungan seksual yang berbentuk persetubuhan;
b.      persetubuhan dimaksud bermakna masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam farji (alat kelamin) perempuan (ada yang berpendapat : termasuk dubur dan mulut);
c.       persetubuhan dimaksud dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah (bukan dengan isteri atau suaminya);
d.      persetubuhan dimaksud dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan atas dasar paksaan salah satu pihak.
Keempat unsur tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pijakan untuk membahas masalah perkosaan. Dari keempat unsur tersebut, ketiga unsur (a, b, dan c) merupakan unsur yang agak memenuhi konsep perkosaan. Bedanya, dalam perkosaan unsur keempat (d) perlu diganti dengan perbuatan yang terkait dengan ancaman atau tindakan kekerasan yang mengakibatkan wanita (korban) tidak berdaya dan terpaksa mengikuti kehendak pelaku.
Mayoritas ulama telah berpendapat bahwa dalam kasus perkosaan, pihak pelaku dapat ditempatkan (diposisikan) status hukumnya dengan pezina, sedangkan pihak korban status hukumnya menjadi seseorang yang terpaksa berhubungan seks atau berbuat sesuatu di luar kehendaknya. Ada upaya keras dan terkadang sistematik yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Pihak korban dibuatnya tidak berdaya, sehingga dapat dijadikan sarana melampiaskan nafsu bejatnya. Korban ditempatkan layaknya sebagai alat dan objek untuk memenuhi hajat pelaku. Sedangkan pelaku dapat berbuat sekehendaknya yang jelas-jelas tidak mengindahkan hak-hak asasi korban.
Dengan adanya pemahaman demikian itu, maka setidak-tidaknya proses penyelesaian hukumnya dan penjatuhan sanksi hukumannya kepada pelaku perkosaan dapat berpijak pada proses penyelesaian dan sanksi hukuman yang dikenakan pada kasus perzinahan, artinya standar yang digunakan adalah standar minimal, dan bukan mengacu secara mutlak terhadap kasus perzinahan, khususnya dalam hal penjatuhan sanksi hukumnya.
Secara substansi materiilnya, perkosaan juga mengandung unsur perzinahan, yakni suatu jenis persetubuhan di luar perkawinan yang sah, dengan catatan perbuatan itu tidak didasari suka sama suka, melainkan atas dasar paksaan. Faktor paksaan dan kekerasan yang mendukung keberhasilan perbuatan itulah yang harus dijadikan acuan bahwa perbuatan itu melebihi kasus perzinahan.
Perkosaan hanya merupakan wujud kebutuhan sepihak atau dari pihak pemerkosanya, sedangkan bagi yang diperkosa, kekerasan itu membuat dirinya menderita secara pssikis maupun fisik. Dalam perzinahan, derita seperti ini tidak dirasakan secara langsung oleh pihak yang melakukannya, sedangkan dalam kasus perkosaan, pihak korbannya mengalami derita tiada tara.

2.      Aspek Hukum Pidana Formal
Maksud penyelesaian (prosedur) kasus perkosaan, termasuk penjatuhan sanksi hukumannya itu masuk dalam lingkup atau bidang pembahasan hukum pidana formal, yakni hukum acara pidana atau hukum yang berusaha mencari dan menemukan kebenaran hukum pidana materiil, siapa pelakunya, bagaimana sistem pembuktiannya dan dijatuhi dengan jenis hukuman yang bagaimana.
Pelaku perkosaan yang setidak-tidaknya dipersamakan dengan kedudukannya dengan pelaku perzinahan akan menghadapi sanksi hukum yang cukup berat. Jenis sanksi yang diantaranya dapat dikenakan kepada pelaku perkosaan adalah :
a.       Dicambuk atau didera sebanyak 100 kali dan diasingkan  (ada yang menafsirkan diusir) ke luar daerah (bagi pelaku yang masih jejaka/belum beristeri);
b.      Dihukum rajam atau dilempari batu sampai meninggal dunia.
Rasulullah sendiri, ketika dihadapkan kepadanya pria dan wanita mukhson yang berzina, beliau menghukumnya dengan merajam. Penegasan ini masih disepakati para sahabat, tabi’in, dan para ulama dan fuqaha Islam. Tidak satupun dari mereka yang meragukan hukum rajam sebagai hukum syari’at yang tetap sesuai dengan dalil-dalil sunnah yang kuat lagi shahih. Ibnu Taimiyah juga menegaskan, bahwa pelaku zina mukhson dirajam hingga mati, sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW terhadap Maiz bin Malik Al-Aslami. Beliau juga pernah merajam wanita Ghamid, dan lain sebagainya.[18]
Jenis hukuman yang dijatuhkan berkaitan dengan pelaku zina itu juga diikuti oleh penguasa sesudah Nabi Muhammad SAW. Misalnya di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, juga terjadi penerapan hukuman cambuk dan rajam sehingga sampai meninggal dunia. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab menjatuhi hukuman cambuk kepada anaknya bernama Ubaidillah atau Abi Syamsah, yang telah melakukan perzinahan.
Kisah perzinahan putera Umar itu dtulis Abdur Rahman, “suatu hari dia melintasi rumah seorang Yahudi, minum anggur sehingga mabuk. Dia melihat seorang wanita yang sedang tidur, lalu menzinainya hingga dia hamil. Setelah melahirkan seorang anak lelaki, si wanita datang ke Masjid Nabawi lalu meletakkan si anak di pangkuan Khalifah Umar seraya berkata : “wahai penguasa kebenaran, ambillah anak ini, karena engkau mempunyai hak yang lebih besar atasnya daripada diriku sendiri”. Kemudian dia menjelaskan bahwa si anak merupakan putera dari (pembuahan) Abi Syamsah. Khalifah Umar menanyainya apakah hal itu benar sesungguhnya. Lalu si wanita menceritakan seluruh peristiwa yang telah menimpanya. Maka khalifah pulang dan meyakinkan dari putranya bahwa dia benar, si anak telah melakukan kejahatan, meskipun dirinya sendiri (Umar) sangat merasa malu karenanya. Khalifah mencengkeram leher bajunya, menyeretnya ke Masjid Nabawi, Abi Syamsah bertanya akan dibawa kemanakah dirinya, khalifah menjawab bahwa dia akan dibawa ke hadapan para sahabat Nabi di Masjid, “sehingga aku bisa mengambil hak Allah darimu di dunia ini sebelum ia dituntut darimu di akhirat nanti”. Abi Syamsah memohon kepada khalifah (ayahnya sendiri), akan mengambil hak Allah itu dari dirinya sendiri seketika itu juga sehingga mungkin dia tidak menimbulkan aib di hadapan para sahabat Nabi itu. Khalifah Umar menjawab, “wahai anakku, engkau justru telah mempermalukan dirimu sendiri dan diri ayahmu. Kita tetap harus pergi ke hadapan mereka”. Umar lalu memerintahkan Maflah agar mencambuk anaknya. Setelah dia menderanya tujuh puluh kali, Abi Syamsah memohon dengan lirihnya kepada para sahabat Nabi itu agar menunda (hukuman yang dijalankannya). Lalu para sahabat memohon kepada Umar agar menghentikannya. Umar menjawab, “wahai para sahabat Nabi, bukankah kalian telah membaca di dalam Al-Qur’an,
 
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An Nuur : 2).

Kemudian dia terus dicambuk sampai seratus kali, sehingga akibatnya Abi Syamsah meninggal dunia. Lalu Khafilah membawanya kerumahnya, memandikannya dan menguburkannya”.[19]
Uraian Abdur Rahman yang panjang itu menunjukkan tentang penerapan hukum rajam yang didasarkan asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Khalifah Umar konsisten menerapkan jenis hukuman cambuk kepada puteranya setelah terbukti puteranya melakukan perbuatan zina. Bahkan jika ditafsirkan, kasus “Putera Umar” itu dapat ditarik dalam bentuk kasus perkosaan, mengingat saat menyetubuhi wanita Yahudi, si wanita dalam keadaan tidur, yang dimungkinkan ada upaya pemaksaan untuk melakukannya. Sekurang-kurangnya, pada diri wanita Yahudi, ada perasaan takut untuk segera melaporkan pemaksaan perzinahan yang dilakukan putera Umar karena takut terhadap proses peradilan yang akan dihadapinya yang menuntut beban pembuktian yang cukup berat.
Kasus “Putera Umar” itu baru dijatuhi hukuman setelah terbukti melakukannya. Artinya, hukuman baru bisa dilaksanakan setelah dilakukan hukum acara pidana Islam, yakni membuktikan pengaduan wanita Yahudi yang dizinai (diperkosa).
Pengaduan itu didukung dengan alat-alat bukti dalam perkara pidana yang bisa dibenarkan, yakni :
a.       pengakuan;
b.      anak yang merupakan akibat dari perzinahan.
Sayangnya, dalam upaya mengungkap kasus perzinahan tidaklah cukup mudah, tidak seperti yang terjadi di zaman pemerintahan Umar bin Khattab. Ada kendala yang berkaitan dengan pembuktian.
            Dengan memberikan tempat berlakunya bagi alat bukti lainnya, maka kemungkinan pelaku kejahatan dapat lolos dari jeratan hukum akan terhindarkan. Pelaku kejahatan akan bisa dijaring dengan cara implementasi penafsiran yuridis, termasuk interpretasi alat-alat bukti.
            Selain itu, masyarakat dan pihak yang menjadi korban kejahatan merasa mendapatkan perlindungan hukum, mengingat pelaku kejahatan yang jelas-jelas melanggar hak-hak asasi manusia tidak sampai lepas. Masyarakat mendapatkan jaminan hukum, sehingga hidupnya bisa tenteram.


III.            KESIMPULAN
A.    kejahatan kekerasan seksual yang modus operandinya, antara lain menempatkan korban dalam posisi tidak berdaya sudah cukup sering tidak bisa dijaring dengan suatu pasal yang mengandung sanksi hukum yang memadai akibat pasal-pasal yang tersedia dalam KUHP tidak memberikan peluang untuk menjaringnya secara tegas-tegas.
Konsep mengenai tindak pidana kesusilaan atau kejahatan kesusilaan sebagaimana dalam RUU KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi ancaman sanksi hukum yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing kejahatan kesusilaan telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan. Selain itu, dalam RUU KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dapat dijatuhi sanksi penjara, juga dapat dijatuhi sanksi berupa denda sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukannya.
B.     Dalam hukum pidana Islam, secara materiil, perkosaan mengandung unsur pemberatan yang tingkat kualitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perzinahan, karena dalam perkosaan itu ada upaya kekerasan dan paksaan. Upaya-upaya ini menempatkan pelakunya berlaku sangat dominan dalam mewujudkan terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual itu.
Dalam hukum pidana Islam, secara formil, eksistensi alat bukti di luar saksi tetap harus dipertimbangkan untuk mencari kebenaran materiil dari perkara pidana. Pihak korban kejahatan kekerasan seksual tidak dibuat sakit hati oleh penerapan hukum yang tidak adil.


[1] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, halaman 62.
[2] Idem, halaman 65.
[3] Idem, halaman 67.
[4] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001, halaman 3.
[5] Ibid.
[6] Idem, halaman 6-7.
[7] Idem, halaman 7.
[8] Abdul Wahid, Modus-modus Kejahatan Modern, Tarsito, Bandung, 1993, halaman 64.
[9] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Op. Cit., halaman 19.
[10] Ibid.
[11] Idem, halaman 28.
[12] Idem, halaman 29.
[13] Idem, halaman 33.
[14] Baharuddin Lopa, Seri Tafsir Al-Qur’an Bil-Ilmi 03, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, halaman 1.
[15] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Op. Cit., halaman 37-38.
[16] Idem, halaman 38.
[17] Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001, halaman 115.
[18] Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fil Ishlahir Raa’iwar Ra’iyah, Terjemahan Muhammad Munawwir, (Kebijakan Politik Nabi SAW), Dunia Ilmu, Surabaya, 1997, halaman 100.
[19] Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (terjemahan Wadi Masturi), Rineka Cipta, Jakarta, 1992, halaman 38-39.