A. Pengertian Pengadilan
pidana internasional
Pengadilan pidana inernasional atau
dalam bahasa Inggris di sebut internasional criminal court (ICC) merupakan
lembaga hukum independen dan permanen yang dibentuk oleh masyarakat
negara-negara internasional untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap bentuk
kejahatan menurut hukum internasional diantaranya genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan
dan kejahatan perang dan kejahatan agresi.
B. Sejarah Pembentukan ICC
Pada tahun 1948, perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) telah menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan
internasional. Untuk menuntut
kejahatan-kejahatan seperti permusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok
(genocide atau genosida). Dalam resolusi 260 pada tanggal 9 december 1948,
majlis umum PBB menyatakan sebagai berikut : “recognizing that at all periods
of history genocide has inflictad great losses on humanity, and being convinced
that, in order to librate mankind from such an odius scourge, internasional
cooperasion is requid”.
Setelah itu, suatu komite persiapan
telah memulai kerjanya. Yang di mulai pada awal 1999. Untuk mempersiapkan
usulan-usulan yang berkaitan dengan persiapan-persiapan praktis yang berkaitan
dengan akan di mulai berlakunya statuta
ketika telah 60 negara meratifikasinya dan untuk pendirian mahkamah tersebut.
Suatu komisi mulai membahas materi-materi yang berkaitan dengan unsur-unsur
kejahatan, aturan-aturan kejahatan, aturan prosedur dan pembuktian.
Sekitar 50 tahun setelah keluarnya
resolusi tersebut Pada bulan Juli 1998 di Roma Ita;ia konferensi diplomatis
mengesahkan Statuta Roma tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120
setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21abstein). Statuta Roma menjelaskan apa
yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana
saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk
membentuk ICC telah dilakukan pada tanggal 11 April 2002 dan Statuta mulai
dilaksanakan yuidiksinya pada tanggal 1Juli 2002. Pada bulan Pebruari 2003, 18
hakim ICC pertama kali diangkat dan Jaksa Penuntut pertama dipilih pada bulan
April 2003.
BAB III
PENGADILAN
PIDANA INTERNASIONAL
A. Mahkamah pidana internasional dalam Statuta Roma
Mahlamah pidana internasional merupakan
lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan yuridikasinya
terhadap pelaku tindak pidana internasional yang paling serius sebagaimana
diatur dalam statuta roma.
Tujuan
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah
termasuk
:
·
meningkatkan keadilan
distributif;
·
memfasilitasi aksi dari
korban;
·
pencatatan sejarah;
·
pemaksaan pentaatan
nilai-nilai internasional;
·
memperkuat resistensi
individual;
·
pendidikan untuk
generasi sekarang dan di masa yang akan datang;
·
mencegah penindasan
berkelanjutan atas HAM.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman
kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan
keterbukaan serta kejujuran.
Dalam kurun waktu 50 tahun negara-negara
yang tergabungdalam Perserikatan Bangsa-bangsa melihat adanya
perkembangankebutuhan untuk mengendalikan kejahatan internasional dengan
membentuk 4 (empat) Pengadilan Ad-Hoc, dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan
Ad-hoc tersebut adalah:
1)
Mahkamah Militer
Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di
Nuremberg (1945);
2)
Mahkamah Militer
Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the
Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946);
3)
Mahkamah Pidana
Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan
di Hague (1996); dan
4)
Mahkamah Pidana
Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for
Rwanda/ICTR) – 1998 dengan tempat kedudukan di Arusha.
Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut diatas (butir
(3) dan (4)) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:
1.
Mahkamah
Pidana Internasional yang bersifat Permanen atau ICC sampai saat terjadinya
kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk
dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana
Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998.
2.
Kebutuhan
yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan
yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda
telah menjadi tuntutan
masyarakat internasional untuk memulai langkahlangkah
konkrit dalam skema
perlindungan HAM Universal.
3.
Kebutuhan
mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua
daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar
lagi;
4.
Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sudah
sebagian besar disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan
Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat
diwujudkan dalam kenyataan;
5.
Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua
daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik
dan mengadili kejahatankejahatan internasional yang terjadi, memerlukan
penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri
meluasnya kejahatan internasional tersebut.
Kelima
Komisi Penyidik Internasional yang telah dibentuk adalah :
1.
Komisi yang bertanggung
jawab atas bencana perang dan penjatuhan pidana, penyidikan selama Perang Dunia
I (1919);
2.
Komisi Kejahatan Perang
PBB (1943) yang menyidik penjahat perang Jerman selama Perang Dunia II;
3.
Komisi Timur Jauh
(1946) yang menyidik penjahat perang Jepang selama Perang dunia II;
4.
Komisi Ahli yang dibentuk sesuai dengan
Resolusi Dewan Keamanan 780, untuk menyidik pelanggaran atas Hukum
Humaniternasional di bekas jajahan
Yugoslavia;
5)
Komisi Ahli Independen yang dibentuk sesuai dengan ResolusiDewan Keamanan
935,
Komisi Rwanda untuk menyidik pelanggaran-pelanggaran selama perang
sipil di Rwanda.
Pengadilan nasional akan selalu
mempunyai yuridiksi atas sejumlah kejahatan. Berdasaarkan prinsip saling
melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu
atau tidak mau mengambil tindakan.
Contoh:
Pemerintah
mungkin tidak ingin menjatuhkan hukuman atas warga negaranya terlebih jika
orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau ketika sistem pengadilan
pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada
pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut.
Pengadilan mempunyai yuridiksi untuk
menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika:
•
Kejahatan dilakukan di
wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma.
•
Kejahatan dilakukan
oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
•
Negara yang belum
meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan
atas kejahatan tersebut;
•
Kejahatan dilakukan
dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan
PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7
Piagam PBB.
Yuridikasi dari mahkamah terbatas pada
tindak pidana yang oleh seluruh masyarakat internasional dianggap paling
serius, mahkamah memiliki yuridikasi terhadap tindak pidana sebagai berikut:
a.
Tindak pidana genosida
b.
Tindak pidana terhadap
perang/kejahatan perang
c.
Tindak pidana terhadap
kemanusiaan
d.
Agresi
Mahkamah
memberlakukan yuridiaksi terhadap tindak pidana agresi pada suatu saat
ketentuan di sahka tentang definisi
tindakann sesuai dengan pasal 121 dan 123 tentang definisi tindak pidana dan
kondisi-kondisi di mana mahkamah dapat memberlakukan yuridikasi terhadap tindak
pidana ini. Ketentuan seperti ini harus sesuai dengan ketentuan dalam piagam
perserikatan bangsa-bangsa
Pengadilan hanya memiliki yuridikasi
untuk kejahatan yang dilakukan setelah 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma
diberlakukan. kemudian yang memutuskan kasus-kasus yang harus diputuskan
Pengadilan yaitu:
Statuta
Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Pengadilan:
1)
Jaksa Penuntut
Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih
kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber,termasuk
para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi
atas kejahatan dan individu tersebut.
2)
Negara yang telah
meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi
situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya
Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
3)
Dewan Keamanan PBB
dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih
kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan
yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa
Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum
meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
Di dalam masing-masing situasi tersebut
di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan,
untuk memutuskan apakah investigasi akan dilakukan Berdasarkan investigasi
tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada keputusan hukum.
peran
banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa Penuntut
hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di
wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara
negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke
Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc
kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi dibekas
Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan
ke Pengadilan. Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan
akan
dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta.
ICC akan mampu bertindak ketika
pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi
tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke
pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan ijinuntuk melakukan
penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban
dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara. para
Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan
PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih
keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara
anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang
lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.
Meskipun anggara tahunan ICC mencapai
$100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan
oleh negara-negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap
kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena ICC bisa mencegah
terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka ICC jauh lebih banyak
menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang
menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan
politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa
Penuntut ICC, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa
Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau
rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari
berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai
kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam
hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut
harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari
Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan
maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.
Prinsip-prinsip
hukum terpenting adalahsebagai berikut:
1.
Prinsip
Komplementaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini dicantumkan
dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut: “An International
Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power
to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of
international concern, … shall be complementary to nationalcriminal
jurisdiction.”
Pengertian “complementary” atau
komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut,
adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh peserta, bahwa jurisdiksi
(pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan
penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang
Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara
Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip
tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:
(1)
bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan
tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
(2)
bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta
mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial
tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan atau standards of
admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4
(empat) keadaan sebagai berikut :
1)
Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu
kasus
adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
a.
kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara
yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara
yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara
bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau
penuntutan.
b.
Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang
bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak
menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak
adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara
bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
c.
terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat
dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
d.
Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh
Mahkamah.
2) Prinsip “ne bis in idem” (double jeopardy)
Prinsip ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi : “No
person shall be tried before another court for a
crime referred to in article 5 for
which that person has already been convicted or acquitted by the Court”
Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 angka
2 diatas, terdapat kekecualian dalam Pasal 20 ayat 3
yang berbunyi sebagai berikut : “No person
who has been tried by another Court for
conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same
conduct unless the proceedings in the
Court:
(a) were the purposes of shielding the person concerned from
criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the court; or
(b) Otherwise were not conducted independently or impartially
in accordance with the norms of due process recognized by international law and
were conducted in manner which, in circumstances, was inconsistent with an intent
to bring the person concerned to justice.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 3 tersebut diatas ditegaskan, bahwa
terhadap kejahatan-kejahatan genocide, crime against humanity and war
crimes sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in
idem dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan sebagimana telah
diuraikan di atas, yaitu:
a. pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/kelompok
orang dari pertanggungjawaban pidana; dan
b. Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri
sesuai dengam norma-norma “due process” yang diakui Hukum Internasional
dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang
bersangkutan.
3) Prinsip “nullum crimen sine lege” Prinsip ini diatur
dalam Pasal 22
yang sangat dikenal dengan asas legalitas merupakan tiang yang
kokoh dan memperkuat supremasi hukum. Yang sangat penting dari
Statuta Roma (1998) mengenai asas ini adalah bagi Pasal 22 ayat 2 yang
berbunyi: “The definition of crime shall be strictly construed and
shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition
shall be interpreted in favour of the person being investigated,
prosecuted or convicted”.
Dari ketentuan tersebut
diatas jelas bahwa sejalan dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption
of innocence) jika adakeragu-raguan mengenai materi muatan dalam Statuta
Roma ini, kepada seseorang yang sedang disidik, dituntut, atau diadili.
Ketiga prinsip sebagaimana
telah saya uraikan diatashanyalah sebagian saja dari seluruh prinsip-prinsip
yang dimuatdalam Statuta Roma (1998) yang sangat penting dan dapat dikatakan merupakan
prinsip-prinsip dasar Statuta tersebut. Bertitik tolak pada latar belakang,
substansi dan muatan ketentuan dalam Statuta Roma (1998), maka Indonesia yang merupakan
anggota PBB dan peserta aktif dalam Konfrensi Diplomatik yang membahas Statuta
Roma tersebut sangatberkepentingan untuk terus menerus mengikuti dan memantau pembahasan-pembahasan
dalam Sidang Persiapan Konfrensi Diplomatik di New York sejak bulan Maret 1999 sampai
dengan bulan Desember2000 yang akan datang. Perkembangan situasi politik dan
keamanan di wilayah Republik Indonesia sejak masa pemerintahan Orde Baru sampai saat ini telah membuktikan berbagai
tindakan-tindakan kekerasan oleh aparatur negara terhadap perorangan atau
kelompok dalam masyarakat yang telah menimbulkan korban yang sangat banyak
danmenyengsarakan. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadiselama
kurun waktu kurang lebih 50 tahun Indonesia Merdeka telah menunjukan bahwa
suatu proses peradilan atas pelaku penggaran HAM merupakan kebutuhan yang sangat
mendesak. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM selama Orde Baru dan peristiwa
Timor Timur telah meningkatkan intensitas tekanantekanan sosial baik di dalam
negeri maupun di luar negeri terhadap pemerintah Indonesia untuk segera
melakukan
langkah-langkah konkrit mencegah dan mengatasi pelanggaran HAM
yang lebihluas lagi dan menimbulkan korban yang lebih besar.
Langkah-langkah pemerintah
di bidang legislasi untuk menghadapi pelanggaran HAM sudah dimulai dengan upaya
pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM (a.l. Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Konvensi Anti Ras Diskriminasi), kemudian dilanjutkan dengan
penyusunan peraturan perundang-undangan yang melindungi HAM (Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia dan PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang
PengadilanHAM). Implikasi pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam Statuta
Roma (1998) terhadap sistem peradilan pidana di Indonesiasangat mendasar karena
beberapa sebab sebagai berikut :
(1)
pelanggaran HAM yang sangat berat (serious violation of human right)
sudah merupakan dan dipandang oleh seluruh masyarakat internasional
sebagai “serious crimes of international concern” sehingga pelanggaran
HAM yang sangat berat bukan semata-mata masalah hukum nasional,
melainkan merupakan masalah hukum internasional. Konsekuensi logis dari
dasar pemikiran tersebut, maka peradilan atas pelanggaran HAM
yang sangat berat bukan semata-mata jurisdiksi pengadilan nasional
melainkan juga merupakan jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
(2)
Penggolongan atas pelanggaran HAM yang sangat berat sebagaimana dimuat dalam
Pasal 5, 6, 7, dam 8 Statuta Roma (1998) bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary
crimes) melainkan merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary
crimes) sehingga penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan suatu
pengadilan terhadap kejahatan ini memerlukan pengaturan secara khusus dan
berbeda dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
seperti KUHP dan Undang-undang Pidana Khusus lainnya.
(3)
Institusi yang relevan dan sesuai untuk memeriksa, dan menyidik pelanggaran HAM
yang berat memerlukan prasarana dan sarana secara khusus yang memadai sehingga
proses peradilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan
secra “impartial”, “fair” dan “transparan” dengan mengacu kepada
standar yang diakui berdasarkan Hukum Internasional.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, maka perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak
dapat di-elakan. Perubahan mendasar tersebut adalah:
(1)
Diperlukan pembentukan Pengadilan HAM Permanen sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari dan dalam sistem kekuasaan kehakiman sesuai dengan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undangundang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuanketentuan
Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
(2)
Diperlukan Hukum Acara Khusus, jika perlu ketentuanketentuan yang menyimpang
dari asas-asas umum hukum acara pidana untuk peradilan pelanggaran HAM yang sangat
berat.
(3)
Diperlukan lembaga khusus yang diberi wewenang melakukan penyelidikan seperti
Komnas HAM dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang sudah ada.
(4)
Diperlukan penyidik khusus dan Jaksa Penuntut Umum Khusus serta Hakim Khusus
seperti Penyidik Ad-hoc, Jaksa dan Hakim Ad-hoc.
(5)
Diperlukan sistem pemidanaan tertentu yang berbeda dengan sistem pemidanaan
yang berlaku umum, dimana memungkinkan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah
hukuman seumur hidup.