Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang
menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam
kontinuitasnya[1].
Weber memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe
birokrasi yang rasional. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami
setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita
lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang penting
ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi
negara tertentu. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita
bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting yang membedakan
antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya[2].
Menurut weber, proses semacam ini bukan
menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, dan bukan pula mampu
menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep birokrasi secara
keseluruhan, tetapi hanya sebagai suatu konstruksi yang bisa menjawab suatu
masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Menurut weber tpe
ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut[3] :
- Pejabat
secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya
- Jabatan
disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping dengan
konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.
- Tugas
dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik
berbeda satu sama lain
- Setiap
pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
- Setiap
pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya
- Setiap
pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.
- Terdapat
struktur pengembangan karieryang jelas
- Setiap
pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk kepentingan
pribadi
- Setiap
pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Dalam pemerintahan, kekuasaan publik
dijalankan oleh pejabat pemerintah/para birokrat yang melaksanakan tugasnya
sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus
mampu mengendalikan orang-orang yang dipimpin[4].
Birokrasi dalam ha ini mempunyai tiga arti, yaitu :
- Sebagai
Tipe organisasi yang khas.
- Sebagai
suatu sistem (struktur).
- Sebagai
suau tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai
tujuannya[5].
b.
Birokrasi dan Fungsi Pelayanan
Dalam negara administratif, pemerintah dan
seluruh jajarannya dikenal sebagai abdi masyarakat dalam pemberian berbagai
jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga masyarakat. Keseluruhan
jajaran pemerintahan negara merupakan satuan birokrasi pemerintahan yang juga
dikenal dengan istilah civil service. Pemerintah beserta seluruh jajaran
aparatur birokrasi bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetapi merupakan
kenyataan bahwa peranan pemerintah dan jajarannya bersifat dominan.
Diantaranya berbagai satuan kerja yang
terdapat dalam lingkungan pemerintahan, terdapat pembagian tugas yang pada
umumnya didasarkan pada prinsip fungsionalisasi[6].
Fungsionalisasi berarti bahwa setiap instansi pemerintah berperan selaku
penanggung jawab utama atas terselenggaranya fungsi tertentu, dan perlu bekerja
secara terkoordinasi dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah mempunyai
“kelompok pelanggan” dimana kepuasan kelompok ini harus dijamin oleh birokrasi
pemerintahan, antara lain kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan di
bidang pendidikan dan pengajaran dilayani oleh instansi yang secara funsional
menangani bidan pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya.
c.
Birokrasi dan Fungsi pengaturan
Fungsi pengaturan terselenggara dengan efektif
karena kepada suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan
berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif
melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan. Pada dasarnya
seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik[7].
Pendekatan tersebut antara lain bahwa dalam
menghadapi permasalahan, pemecahan yang dilakukan dengan mengeluarkan ketentuan
normatif dan formal, misalnya peraturan dan berbagaiperaturan pelaksanaannya.
Menurut Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam
Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu
pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe
organisasi yang bertujuan mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan
cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang
B. Patologi birokrasi
Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan
dihadapi oleh Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam
bentuk dan jenisnya, maupun intensitasnya[8].
Mengenai
penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh birokrasi
pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul,
baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal[9].
Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokratperlu diidentifikasikan untuk
dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi demokrasi dapat
dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu.
C. Birokrasi pemerintahan dan Perilaku Birokrasi
di Indonesia
a.
Masa Lalu
Kondisi birokrasi pemerintahan Indonesia di
era orde baru merupakan perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang
legal-rasional dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah
seperti terdapatnya posisi seseorang yang tidak sesuai dengan keahliannya.
Birokrasi Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari faktor historis tersebut
disebut sebagai “Birokrasi Patrimonial” sebagai warisan budaya masa lampau[10]
Priyo budi santoso menyebut model teoritis
untuk memahami karakteristik politik dan birokrasi Indonesia khususnya pada
masa Orde Baru guna melengkapi konsep birokrasi patrimonial tersebut yang
disebut dengan model bureaucratic-polity (politik birokrasi). Karl D
Jackson menjelaskan sebagai berikut:
Politik birokrasi adalah suatu sistem politik
di mana kekuasaan dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan terbatas
sepenuhnya pada para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat
tinggi birokrasi, termasuk khususnya para ahli berpendidikan tinggi yag
terkenal sebagai teknokrat, dalam hal ini militer dan birokrasi tidak
bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lain seperti partai-partai
politik, kelompok-kelpompok kepentingan, atau organisasi kemasyarakatan.
Berbagai tindakan didesain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah
yang berasal dari dalam elit itu sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi
atau mobilisasi massa. Kekuasaan tidak dilibatkan oleh artikulasi kepentingan
sosial dan geografi di sekitar masyarakat[11].
Secara
lebih sempit, Harold crouch mencatat bahwa bureaucratic-polity di
Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu lembaga politik yang dominan adalah
birokrasi, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik,
dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak
mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi, serta massa di luar
birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah
merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
b.
Masa Kini
Seymour Martin Lipset dalam Miftah Thoha,
mengatakan bahwa komponen pembangunan ekonomi salah satunya adalah
industrialisasi. Semula masyarakatnya bersifat agraris serta serba manual dan
kemudian pelan-pelan atau cepat akan mengarah ke tatanan masyarakat yang
industrialis[12].
Salah satu ciri yang menonjol adalah gerak yang dinamis yang mempengaruhi
struktur dan mekanisme kerja birokrasi di Indonesia yang disertai oleh sikap
kritis masyarakat sebagai akibat meningkatnya tingkat pendidikan.
Menurut Miftah Thoha, gerak dinamis dan sikap
kritis tersebut mempengaruhi kualitas hidup suatu bangsa. Masyarakat akan
menuntut demokratisasi di segala bidang termasuk pelayanan dan sistem birokrasi
pemerintah dimana kejahatan konvensional yang sangat mengganggu ekonomi
nasional adalah korupsi. Menurut Afan Gafar, kebijakan publik di Indonesia
mewajibkan rakyat untuk ikut terlibat didalamnya, sehingga masyarakat dapat
mengeluh hingga berbuat anarkis, minimal dengan cara demonstrasi di jalan.
c.
Masa Depan
Model birokrasi yang ideal bukan bertumpu pada
kultur semata, tetapi juga bertumpu pada profesionalisme birokrasi terutama
aparat birokrasinya. Profesionalisme birokrasi ini terfokus pada adanya perjenjangan
struktur secara tertib dengan pendelegasian wewenang , posisi jabatan dengan
tugas-tugas, dan aturan-aturan yang jelas, serta tersedianya personel yang
memiliki kecakapan dan kredibilitas yang memadai dalam bidang tugasnya.
Menurut
Akhmad Setiawan, birokrasi di Indonesia tergolong birokrasi yang tidak bebas
berpolitik[13].
Hal ini tercermin dalam birokrasi yang sulit untuk tidak terlibat politik
sementara ciri patrimonial masih melekat. Hal inilah yang menjadikan
keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi lebih terlihat.
Birokrasi
pemerintahan yang ideal tercipta ketika karakter birokrasi ideal terpenuhi,
yaitu birokrasi yang terstruktur baik, tidak adanya jabatan yang inefisien,
aturan yang jelas, personel yang cakap, birokrasi yang apolitis, dan
berorientasi pada pelayanan masyarakat.
D. Masalah Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara
negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus
mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi
tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus
dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan.
Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih
dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh
Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki,
(iii) otoritas, (iv) dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan (v)
sentralisasi[14]. Meskipun
model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun
pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual
sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.
Teori
birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang
sangat terkait dengan gejala[15] sebagai
berikut:
- Smith,
menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan yang
terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi
secara efektif.
- E.
bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu
kecenderungan sikap administratoryang menyatakan mendukung suatu
kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan
sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat
kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk
partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.
- kelemahan
lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan (surpluses) maupun
kekurangan (shortages)
- Kelemahan
lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority), yaitu
kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan
secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan
pertimbangannya sendiri.
- Selain
itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan maupun
tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan
Birokrasi
harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan
kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat
mengancam potensi masyarakat.
Dalam
hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu :
- Patologi
yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan
birokrasi, contohnya :
- Penyalahgunaan
wewenang dan jabatan
- Penguburan
masalah
- Menerima
sogok atau suap
- Pertentangan
kepentingan
- kecenderungan
mempertahankan status quo / ketakutan pada perubahan
- Arogansi
dan intimidasi
- Kredibilitas
relatif rendah / nepotisme
- Paranoia
dan otoriter astigmatisme
- Patologi
yang disebabkan karna kurang / rendahnya pengetahuan dan keterampilan
para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Artinya, rendahnya
produktivitas kerja dan mutu pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh
tindakan dan perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat
pengetahuan dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang
diemban.
- Patologi
yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang
digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain :
- Menerima
sogok / suap
- Korupsi,
dan
- Tata
buku yang tidak benar
- Patologi
yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat
disfungsional / negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan
tugas.
- Patologi
yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis dalam
lingkungan pemerintahan.
Pemahaman patologi birokrasi secara tepat
memerlukan analisis mendalam mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan
terlihat dalam berbagai situasi internal yang dapat berakibat negatif terhadap
birokrasi yang bersangkutan, antara lain :
- penempatan
tujuan dan sasaran yang tidak tepat
- eksploitasi
- tidak
tanggap
- motivasi
yang tidak tepat
- kekuasaan
kepemimpinan
- beban
kerja yang terlalu berat
- perubahan
sikap yang mendadak.
E. Upaya Penanggulangan Patologi Demokrasi
a.
Paradigma Birokrasi yang Ideal.
- Kelembagaan
Birokrasi pemerintahan merupakan organisasi
yang paling besar di setiap negara yang ditentukan oleh berbagai faktor,
seperti komplekksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya tenaga kerja
yang digunakan, besarnya anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan
prasarana yang dikasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang
meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan, sehingga birokrasi
pemerintahan perlu selalu berusahaagar seluruh organisasi birokrasi itu
dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi.
2.
Manajemen Sumber Daya Manusia
Adapun langkah-langkah yang dapat diambil,
terdiri dari perencanaan, rekruitmen, seleksi, penembapatan sementara,
penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiunan,
dan audit kepegawaian.
3.
Pengembangan Sistem Kerja
Pengembangan sistem kerja harus diarahkan pada
hilangnya persepsi negatif mengenai birokrasi[16].
Pengembangan sistem kerja harus didsarkanpada pendekatan kesisteman yang
berarti bahwa struktur apapun yang digunakan, semuanya harus tetapterwujud
dalam kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak sebagai
satu kesatuan yang dapat diwujudkan apabila pengembangan sistem kerja birokrasi
dapat ditujukan pada seluruh langkah yang ditempuh dalam proses administrasi
negara.
4.
Pengembangan citra birokrasi yang positif[17].
Citra
birokrasi umumnya bersifat negatif, sehingga nilai-nilai loyalitas, kejujuran,
semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas
kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas,
kesediaan berkorban, dan dedikasi, harus selalu ditekankan untuk dijunjung
tinggi.
Beberapa
cara yang dapat menghilangkan citra negatif, yaitu :
1)
Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat,
antara lain dalam bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh
para anggota birokrasi semakin berkurang.
2)
Mengurangi campur tangan birokrasi dalam
berbagai kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan porsi
masyarakat untuk menyelenggarakannya.
3)
Menggunakan setiap kesempatan untuk
menumbuhkan persepsi mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi
kekuasaan, dalam berpikir dan bertindak.
4)
Mengharuskan para pejabat tinggi membuat
pernyataan mengenai kekayaan pada waktu mulai menjabat.
b.
Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih, Kuat, dan Berwibawa
Selama kedudukan dominan berada di tangan
birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan
wewenang untuk setiap urusan / keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin
kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan
kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa
sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi
di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi
pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif
sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya
campur tangan dari kepala eksekutif[18].
Dengan demikian, pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
menjadi terabaikan sebab lemahnya fungsi kontrol legislatif.
Berdasarkan hal tersebut, sistem
ketatanegaraan yang perlu direformasi adalah mencakup bidang politik, ekonomi,
dan hukum pada tataran sistem, serta reformasi bidang moral intelektual dan
sosial budaya pada tataran karakter. Di bidang politik, perubahan itu berkenaan
dengan penyempurnaan undang-undang pemilihan umum partai politik, susunan dan
kedudukan anggota DPR, MPR,dan DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di
bidang ekonomi, diperlukan undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen,
serta perbaikan terhadap undang-undang ketenagakerjaan[19].
Bidang hukum, diperlukan undang-undang tentang HAM dan bela negara. Sedangkan
dalam tatanan karakter, perlu dibuat undang-undang etika pemerintahan dan
menegakkan law enforcement . Selain itu, peran birokrasi juga harus
dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat dan tepat, efisien, dan
efektif.
Pemerintah
juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang menyangkut
kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi termasuk aparatur
negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of solution) I
serta menghindarkan diri dari sumber masalah (source of problem)[20].
[1] Safri
Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi
(Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal 180
[2] Miftah
Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hal.16.
[3] Miftah
Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hal.17
[4] Safri Nugraha, et al, Hukum Administrasi
Negara, cet Kesatu edisi revisi (Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal 181.
[5] Lijan
Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT
Bumi Aksara 2006), hal. 63.
[6] Fritz
Morstein marx, The Administration State-An Introduction to Beurreucracy,
(London: The University of Chicago Press, 1957), hal.20-28
[7] Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan
Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi Aksara 2006), hal. 65.
[8] Sondang P.
Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya,
(Jakarta;Ghalia Indonesia, 1994), hal.35-81,
[9] Safri
Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi
(Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal 191
[10] Indra
Pahlevi, Birokrasi dan Perubahan Sosial Politik, (Jakarta:Pusat
Pengkajian dan Pelayanan Informasi SekJen DPR-RI, 1998), hal.9.
[11] Lijan Poltak
Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi
Aksara 2006), hal.70.
[12] Miftah Thoha,
Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hal.20
[13] Miftah Thoha,
Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hal..21
[14] Lijan Poltak
Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi
Aksara 2006), hal. 66.
[15] Safri
Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi
(Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal 202
[16] Fritz
Morstein marx, The Administration State-An Introduction to Beurreucracy,
(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1957), hal.30
[17] Indra
Pahlevi, Birokrasi dan Perubahan Sosial Politik, cet Kesatu
(Jakarta:Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi SekJen DPR-RI, 1998), hal.10-13.
[18] Safri
Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi
(Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal 206
[19] Miftah Thoha,
Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hal.22
[20] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di
Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.23